Suhail Gabriel sedang berada di tempat tidur ketika milisi Negara Islam atau ISIS menyerbu desanya di Suriah timur. ISIS menembakkan senapan mesin dan pelontar granat. Gabriel pun buru-buru melarikan istri dan anak perempuannya dengan sepeda motornya. Mereka melaju dalam kegelapan malam jelang pagi.
“Kami hanya memakai piyama,” kata Gabriel sebagaimana dilaporkan Washington Post, Rabu (15/4/2015). “Kami bahkan tidak punya waktu untuk berganti pakaian.”
Ia kini berada di antara ribuan orang dari komunitas Kristen kuno, yang dikenal sebagai orang Assyria, yang melarikan diri dari 35 desa pertanian di Sungai Khabur di wilayah Suriah pada Februari lalu karena serangan kelompok ekstremis Sunni itu. Kaum militan tersebut merusak gereja-gereja dan simbol-simbol agama dalam serangan itu serta menculik sekitar 250 orang Assyria, termasuk perempuan dan anak-anak.
Selama dekade terakhir, orang Assyria telah menjadi bagian dari gelombang orang Kristen yang melarikan diri dari Suriah dan Irak karena perang dan penganiayaan oleh kaum ekstremis. Namun, serangan terbaru itu telah menambah kekhawatiran bahwa orang Mesopotamia yang unik itu berada dalam bahaya lenyap dari wilayah tersebut.
Orang-orang Assyria di Irak dan Suriah merupakan komuitas masyarakat terakhir dengan jumlah signifikan. Mereka berbicara dalam bahasa yang dulu dipakai pada masa Yesus, yaitu bahasa Aramik. Eden Naby, sejarawan Timur Tengah dan ahli budaya Assyria, mengatakan, banyak orang Assyria terpaksa pergi dari Timur Tengah sehingga bahasa mereka menjadi sulit untuk dipertahankan.
Dia mengatakan, bahasa Aramik merupakan bahasa tertua yang terus digunakan dalan tulisan dan percakapan di Timur Tengah. Bahasa itu juga pernah digunakan oleh komunitas agama lain, termasuk Yahudi. “Orang-orang Assyria merupakan orang-orang berbahasa Aramik terakhir di dunia. Jadi, perpindahan dan hilangnya orang-orang ini akan menjadi bab penutupan dari penggunaan bahasa Aramik di dunia,” kata Naby.
Orang Assyria, juga disebut sebagai orang Kaldean atau Syriak, menganggap diri mereka berbeda secara etnis dari orang-orang Arab dan Kurdi. Jejak nenek moyang mereka sudah berada di kawasan itu sekitar 6.500 tahun yang lalu. Mereka berbicara dengan dialek modern yang merupakan lingua franca Kekaisaran Assyria.
Orang Assyria termasuk komunitas paling awal yang masuk ke dalam ke-Kristen-an, dan mereka kebanyakan penganut gereja-gereja Ritus Timur, yang para pendirinya dikatakan termasuk para rasul abad pertama, yaitu Thomas, Tadeus, dan Bartolomeus.
Meskipun kelompok-kelompok komunitas Assyria tersebar di seluruh Lebanon dan Turki, inti komunitas mereka berada di Irak dan Suriah. Jumlah orang Assyria di Irak telah merosot dari sekitar 1,4 juta jiwa pada akhir 1980-an menjadi hanya sekitar 400.000 jiwa. Kebanyakan dari mereka telah bermigrasi ke luar negeri sebagai akibat dari pergolakan yang dihasilkan oleh invasi AS yang menggulingkan Saddam Hussein tahun 2003.
Di Suriah, jumlah orang Assyria diperkirakan tidak lebih dari 40.000 jiwa. Banyak dari mereka telah dipaksa ISIS untuk melarikan diri ke daerah-daerah yang dikuasai Kurdi di bagian timur negara itu.
“Apa yang kami hadapi adalah kekejaman yang bersusulan,” kata Habib Afram, kepala Liga Syriak di Lebanon.
Dia menyebut sejumlah serangan yang dilakukan terhadap orang Assyria dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pembunuhan seorang uskup agung di kota Mosul di Irak utara tahun 2008, pengeboman sebuah gereja Assyria di Baghdad tahun 2010 yang menewaskan hampir 60 orang, dan penculikan dua uskup di Aleppo, kota terbesar di Suriah. “Mereka tidak hanya ingin mengambil tanah atau menendang Anda keluar dari desa Anda. Mereka ingin menghapus masa lalu Anda, warisan Anda,” katanya.
Ketika ISIS menyapu Irak utara pada Juni, ribuan warga Assyria didesak keluar dari Mosul dan daerah lainnya.
Jauh sebelum perang saudara di Suriah dan munculnya ISIS, orang-orang Assyria telah menghadapi penganiayaan. Setidaknya setengah juta orang Assyria tewas selama pembantaian oleh Turki Ottoman di Armenia selama Perang Dunia I, sebuah pembantaian yang oleh banyak sejarawan dianggap sebagai sebuah genosida.
Saat ini, lebih dari dua pertiga orang Assyria diyakini tinggal di negara-negara termasuk Amerika Serikat, Swedia, dan Australia. Menurut Naby, sedikitnya sekolah yang mengajarkan bahasa Aramik di tempat-tempat tersebut telah berkontribusi terhadap hilangnya bahasa itu.
Dia mencatat bahwa sebuah kerugian yang sama terkait bahasa Aramik terjadi ketika ribuan orang Yahudi meninggalkan Irak utara pada masa pendirian negara Israel tahun 1948. Banyak dari mereka pindah ke Israel, ketika bahsa Ibrani menjadi bahasa mereka.
Banyak orang Assyria, yang baru-baru ini meninggalkan rumah mereka di Suriah, berharap untuk membangun kembali kehidupan mereka di luar negeri.
“Tak satu pun dari kami akan pernah bisa kembali ke Suriah. Kami tahu itu, jadi kami tahu bahwa hidup kami harus dibangun di negara-negara lain,” kata Gabriel, 47 tahun, seorang guru bahasa Inggris yang datang ke Lebanon bersama keluarga dan puluhan orang Assyria lainnya, tak lama setelah serangan ISIS itu.
Dia melarikan diri dari desanya di Tal Jomaa saat milisi ISIS sedang memerangi pasukan Kurdi di daerah itu.
Gabriel dan banyak pendatang baru lainnya dari desa Sungai Khabur menghadiri misa di Katedral St George, Gereja Assyria di Beirut. Mereka berbagi kabar tentang orang-orang tercinta yang beremigrasi atau mendiskusikan mereka yang tidak begitu beruntung, seperti orang-orang yang ditawan oleh ISIS.
Pada suatu hari Minggu belum lama ini di gereja itu, Samir Khizan, 49 tahun, yang datang ke Beirut dari Suriah lebih dari setahun lalu, mengatakan bahwa kaum militan setuju untuk tidak menculik kakaknya yang berusia 70 tahun ketika mereka menyerang desa keluarga itu di Abu Tireh pada Februari lalu. Namun, mereka memaksa dia untuk menghancurkan salib dan patung Bunda Perawan Maria di rumahnya. “Mereka menyuruh dia untuk menghancurkan semua itu dengan kakinya, maka dia pun memejamkan matanya dan diam-diam memohon pengampunan kepada Tuhan sebelum dia melakukannya,” kata Khizan.
Andre Hermes, 60 tahun, mengatakan bahwa ia belum mendengar kabar dari saudaranya, Awiyeh, sejak serangan pada Februari. Awiyeh, kata dia, menolak untuk meninggalkan rumahnya, tempat dia bertani kapas, gandum, dan tomat. “Dia mencintai rumah itu,” kata Hermes, yang berpikir bahwa saudaranya itu berada di antara 250 orang yang dibawa ISIS dari daerah Sungai Khabur. Dia menduga bahwa kaum militan ingin menukar para tawanan itu dengan para anggota ISIS yang dijadikan tahanan oleh milisi Kurdi di daerah itu. Ada juga rumor bahwa kaum militan ingin menukar para tawanan itu dengan uang tebusan.
Mereka tetap takut bahwa orang-orang yang mereka cintai itu bisa dibunuh sebagaimana banyak tawanan ISIS lainnya.
“Mereka memperlakukan kami seperti binatang,” kata Hermes, yang meninggalkan desanya lebih dari setahun yang lalu guna mencoba untuk pindah ke Swedia. Dia telah tinggal di Beirut sejak saat itu. Hermes mendapat dukungan dari masyarakat Assyria setempat sampai ia bisa pindah.
Nuri Kino, pendiri A Demand For Action, sebuah kelompok yang meningkatkan kesadaran kaum minoritas yang dianiaya di Irak dan Suriah, mengatakan bahwa meskipun ada perpindahan massal terhadap mereka, orang Assyria masih mempertahankan kekompakan budaya di beberapa negara, termasuk Swedia, yang telah membawa masuk 150.000 orang dari mereka. Namun, dia menyatakan keraguan bahwa mereka akan terus menggunakan bahasa Aramik seperti yang mereka lakukan di Timur Tengah.
Kembali ke Beirut, Gabriel mengatakan bahwa kekhawatiran utamanya adalah menemukan rumah baru bagi keluarganya, serta pekerjaan. “Orang-orang kami telah dipaksa keluar dari tanah air kami,” katanya. “Tentu saja kami ingin melestarikan budaya kami, tetapi kami perlu mencari kehidupan baru bagi diri kami sendiri. Hidup kami di Suriah sudah tamat.” (internasional.kompas.com)