Di tengah maraknya kasus intoleransi umat beragama di negara kita yang ber-Bhineka Tunggal Ika ini, maka Seksi Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan (HAAK) paroki-paroki se-KAJ bekerjasama dengan komisi HAAK KAJ, Penerbit Obor serta KWI mengadakan Seminar Sehari Ber-Tema “Iman, Hati Nurani dan Kebenaran dalam Tantangan Zaman,” pada Sabtu, 3 Mei 2014 di Aula Paroki Katedral Jakarta.
Dalam kesempatan itu dihadirkan dua narasumber berbobot yaitu Dosen Pasca Sarjana STF Driyarkara, Rm. Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ dan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA. Seminar yang dimoderatori oleh Ketua HAAK KAJ, Bpk. Yohanes Haryono itu dihadiri lebih dari 300 orang dari berbagai paroki dan tokoh lintas agama.
Din Syamsuddin mengimbau kepada seluruh umat beragama di Indonesia untuk tetap selalu menjaga kerukunan antaragama guna menciptakan kedamaian dan juga menghindari perpecahan.
“Umat berbagai agama akan bisa bekerja sama akan menampilkan kehidupan dengan damai. Bekerja sama, toleransi, dan akan cukup kuat untuk menghadapi pemeluk-pemeluk agama yang ingin memecah belah,” kata Din, dalam seminar dan bedah buku Romo Franz Magnis Suseno SJ berjudul ‘Iman dan Hati Nurani’.
Din mengatakan, saat ini banyak pihak yang mencoba mempolitisasi agama baik di bidang politik maupun ekonomi. Hal itu menurutnya yang sering memperkeruh suasana dan membuat perpecahan sehingga mengganggu kedamaian.
“Saya ini penganut kerukunan sejati bukan kerukunan yang basa-basi. Bagimu agamamu, bagiku agamaku tapi kita sebagai saudara bisa hidup. Itu tanggung jawab bersama-sama. Maka ini perlu pendekatan kerukunan tertentu,” jelas Din.
Selain itu, Din juga mengaku sering mendapat kecaman dari beberapa kalangan Muslim jika dirinya menghadiri acara hari besar umat non-Muslim seperti perayaan Natal ataupun perayaan hari besar umat Hindu ataupun Buddha.
“Saya sering mendapatkan kecaman kiri kanan, karena ada fatwa MUI tidak dapat menghadiri acara agama lain. Tidak boleh mengucapkan salam, ucapan selamat Natal, tapi hal itu tetap saya kesampingkan. Karena menurut saya, saya meyakini kalau keimanan agama masing-masing itu kuat, itu akan memanifestasikan kebersamaan,” tandas Din yang juga ketua Indonesian Committee on Religion for Peace (IComRP) ini.
Ia juga mengajak semua elemen untuk tidak menilai kafir terhadap orang atau agama lain. “Kadang kita mengklaim kebenaram yang akhirnya mengkafirkan orang lain. Ini muncul juga di agama saya. Kita jangan saling kafir-mengkafirkan, lebih baik kita mencari kebenaran untuk dijadikan titik temu untuk kebaikan bersama,” kata Din.
Dalam hidup beragama, lanjutnya, “kita harus mantap dalam iman kita, dan jangan ragu dengan iman kita. Iman kita perlu didalami.”
Terkait kegusaran umat Kristiani tentang eksistensi Pancasila, Din mengajak umat Kristiani tidak perlu takut. “Kawan-kawan dari Kristiani tidak usah khawatir, NU dan Muhammadiyah akan tetap menegakkan Pancasila.”
Menurutnya, dialog aksi perlu terus dilakukan. Ia mencontohkan di Yogyakarta tiga rumah sakit — Katolik, Muhammadiyah dan Protestan — menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk membangun kerjasama tiga rumah sakit itu ke depan.
Sementara itu Romo Magnis mengajak semua pihak untuk tidak menilai agama lain itu buruk. “Kita jangan menilai agama lain itu buruk. Kita tidak boleh mempersalahkan orang lain tapi mempertanggungjawabkan iman kita.”
Ia mengajak umat Kristiani terus membangun komunikasi dan silaturahim. “Saya selalu minta para pastor paroki untuk membangun komunikasi atau silahturahim dengan para tokoh Muslim di wilayah mereka.”
Romo Magnis mengamati, dalam 40 tahun terakhir Indonesia lebih Islami. Dan trend ini masih berlangsung terus, umat Kristiani baik Katolik maupun Protestan mengalami Islamisasi ini sebagai tantangan. Intoleransi di tingkat akar rumput bertambah. Tapi ini tidak menghalang umat Kristiani untuk terus berupaya membangun hubungan baik.
Ia mengatakan banyak dari kaum rohaniwan mempunyai hubungan yang cukup baik dengan pelbagai pribadi dan kelompok Muslim. Kami merasakan bahwa Islam, termasuk banyak yang sering disebut radikal, menghormati para pastor dan suster. Dengan itu, kata Romo Magnis, “kita bisa menghadapi umat Muslim dengan lebih terbuka. Karena itu kita kaum rohaniwan juga dapat membantu umat untuk bersikap dengan saudara-saudari Muslim secara wajar dalam semangat Kristus.”
Terkait sejumlah kasus pembangunan gereja, Romo Magnis mengatakan, “Tentu saja, kita juga boleh dan kadang-kadang harus membela hak-hak kita sampai di depan pengadilan. Tetapi, fokus kita adalah pada kesaksian: kesaksian akan kekuatan cinta kasih yang tidak bisa dipadamkan.” (indonesia. ucanews.com dan sumber lainnya)
Maaf, temanya koq beda ya dengan yang tertulis di back drop dan penyelenggaranya juga salah. Siapakah penulisnya? 🙂
Ytk. Pak Widodo,
Terimakasih atas tanggapannya. Judul sebuah tulisan liputan sebuah seminar, tidak harus selalu sama dengan tema seminar, selain itu temanya juga disebutkan dalam tulisan diatas. Penyelenggaranya menurut info yang kami terima ada 4 komisi HAAK KAJ, Penerbit Obor serta KWI. Tetapi acara tersebut bisa sukses terselenggara sebenarnya bukan hanya oleh 4 pihak tersebut, masih ada beberapa pihak lainnya. Seperti Seksi-Seksi HAAK Paroki-Paroki dan Komsos KAJ sendiri yang aktif menyebarkan rencana kegiatan tersebut di Media Cetak dan Media Online, juga ada dari pihak Muhammadiyah sendiri, dan sebagainya. Semoga bisa membantu…
Pax Christi,