Bacaan I : Yl 2: 12-18 Bacaan II : 2 Kor 5: 20 – 6: 2 Injil : Mat 6: 1-6. 16-18
“Abu: Perjalanan Iman bersama Allah”
Kritik Yesus terhadap praktek hidup keagamaan pada masa itu sangat jelas. Praktek hidup doa yang tampak tidak sejalan dengan dasar hidup doa. Banyak orang terlihat sangat salah tetapi hatinya sulit merasakan kehadiran Allah. Yang terjadi, banyak orang ingin terlihat saleh tetapi tidak sungguh memelihara kesalehannya, yaitu hubungan dengan Allah. Maka, yang terjadi adalah pemisahan hidup rohani/doa dari Allah sebagai sumber. Tolok ukur yang dicari adalah pengakuan dari orang sekitar.
Masa prapaskah ini kita akan banyak merenung tentang sinode. Sinode sendiri berarti berjalan bersama. Sebagai Gereja kudus Allah, kita diundang untuk berjalan bersama dalam iman dan mewujudkan kebaikan hidup bersama. Kita memiliki kesempatan untuk pantang, puasa, aksi sosial dan renungan bersama, baik dalam keluarga maupun di lingkungan. Namun, jangan lupa bahwa itu semua adalah sarana untuk mengingatkan kita pada sinode yang mendasar, yaitu berjalan bersama dengan Allah.
Hari Rabu Abu ini kita menerima abu. Abu mengingatkan kita akan asal usul hidup kita. Masa-masa ini bukanlah masa untuk mengukur seberapa kuat diri kita, sehingga tidak lagi mengandalkan Tuhan. Dengan pantang, puasa dan amal kasih, kita diingatkan untuk kembali menemukan dasar iman kita. Dasar iman kita adalah perjalanan hidup bersama Tuhan. Semoga kita tidak mencari kesenangan dan jalan pribadi tetapi menyelaraskan diri berjalan bersama dengan Tuhan.
Selamat memasuki masa prapaskah. Selamat mengalami perjalanan bersama Tuhan.
Tujuan kita menjadi pengikut Kristus dan menjadi murid-Nya itu apa?
Tak lain supaya kita belajar dari-Nya, bertumbuh, berkembang sehingga menjadi serupa dengan Dia.
Mengalami Kristus dalam hidup kita sendiri.
Bagaimana caranya mengalami Kristus? Bila mana aku merasakan Dia dalam hidupku?
—
Yang paling utama kita mengalami Kristus dalam Perayaan Sakramen, terutama Ekaristi. Kita mendengarkan-Nya, dan menerima Tubuh-Nya sendiri dalam rupa Sakramen.
itu saja? Bukan dong, itu yang utama tapi ada hal-hal lain yang bisa membantu kita mengalami Tuhan dalam hidup.
—
Lakukan apa yang Dia lakukan
—
Jadilah pelayan bagi semua. Karena Dia pun menjadi pelayan bagi keselamatan kita.
Atau, kata Putra Sirakh,
“Siap sedialah menghadapi cobaan, tabahkanlah dan teguhkanlah hatimu” Kata Putra Sirakh.
“Terimalah saja apapun yang menimpa dirimu dan hendaklah sabar dalam segala perubahan kehinaanmu”
“Percayalah kepada Tuhan, nantikan belaskasihan-Nya, harapkanlah yang baik, sukacita kekal dan belaskasih-Nya”.
Begitulah Yesus saat menjalani perutusan-Nya. Penuh dengan penolakan dan cobaan.
Dengan kata lain.
Menjadi seperti Dia, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Pernahkah kita ragu-ragu dalam hidup? Pernahkah kita bimbang mengambil keputusan? Pernahkah kita tidak percaya diri di hadapan pilihan-pilihan yang ada? Lalu, apa yang kita ambil? Apa yang kita putuskan? Puaskah? Atau, menyesalkah? Untuk hal-hal kecil tentunya tidak terlalu sulit, tetapi untuk hal-hal besar itu yang terkadang tak mudah. Lalu, kita mesti bagaimana?
—
Kita diingatkan dari Sir 1:1-10 bahwa ada rahmat kebijaksanaan yang kita miliki sebagai manusia. Dari mana asalnya? Atau, siapakah kebijaksanaan itu sendiri? Allah memberikannya kepada kita. Ia adalah Allah sendiri yang ada di dalam hati kita. Suaranya begitu halus di batin kita. Kadang, suaranya kalah kuat dengan ambisi dan egoisme kita. Bahkan, terkesan jauh lebih lemah dari kesombongan kita.
—
Lalu, bagaimana mengenaliNya di setiap keputusan kita? Terlalu banyak hal yang melintas dan mesti kita kerjakan tiap harinya. Tak ada waktu untuk diam dan mendengarkan suara kebijaksanaan itu sendiri. Pertanyaannya: tidak ada waktu atau kita tidak menyiapkan waktu sejenak untuk kenali suara kebijaksanaan itu sendiri?
—
Orang bijak berkata, “kebijaksanaan lahir dari pengalaman, bahkan dari kegagalan. Kebijaksanaan lahir dari perjumpaan karena ia mendewasakan. Kebijaksanaan muncul dalam keheningan, karena ia butuh waktu untuk bicara.”
—
Artinya, kita perlu siapkan waktu barang sejenak tiap harinya, entah di pagi atau malam hari untuk mendengarNya yang selalu membantu kita mengambil keputusan besar dan kecil dalam hidup ini. Waktu sejenak itu adalah waktu doa. Dalam doa, kita diam. Dalam diam, kita persilakan Dia bicara karena tidak semua hal bisa kita selesaikan dengan kekuatan kita. Kita butuh kuasaNya. Percayalah dan berdoalah. Persilakan Dia bersabda.
—
Semoga hari ini kita awali dengan doa mohon kebijaksanaan.
Mari bersaksi. Mari berbahagia sebagai orang beriman. Thank God It’s Monday!
Seringkali manusia itu dalam pengalaman sehari-sehari mendambakan kesempurnaan.
Ingin hidupnya sempurna, keluarganya, punya pekerjaan, pasangan yang sempurna.
Ingin hasil pekerjaannya sempurna.
Apa yang dimaksud dengan “sempurna” dalam hal-hal semacam itu?
Tapi ironis, kadang yang terjadi justru sebaliknya – ketidaksempurnaan.
—
Darimana datangnya dambaan kita akan kesempurnaan?
Bisa jadi, seperti itulah gambaran keadaan kita pada awal mulanya. Kita sempurna, hidup bersama Allah – tanpa cacat.
Namun dosa menjadikan manusia tidak sempurna. Ada aja salahnya, ada aja kurangnya.
—
Tuhan mengajarkan, “haruslah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya.” – Menjadi sempurna adalah keharusan. Ini perintah Tuhan. Supaya kita tidak lagi hidup di bawah perbudakan dosa yang serba salah dan kurang. Namun perlahan kembali ke awal mulanya.
Kristus datang membantu kita. Dia hadir memberi teladan, seperti apa manusia sempurna itu.
—
Bagaimana caranya menjadi sempurna? Atau paling tidak bilamana kita berjalan menuju ke arah kesempurnaan?
Bertumbuh. Lebih baik dari hari kemarin. Lebih baik dari versi diriku sebelumnya.
—
Kalau sebelumnya…
aku hanya tidak bisa mengampuni. Hari ini aku ingin bisa mengampuni.
aku hanya mengasihi teman, hari ini aku juga mau bisa mengasihi musuh dan mereka yang menganiaya aku, bahkan mendoakannya.
aku sulit meminjamkan sesuatu, hari ini aku mau memberikan bahkan apa yang tidak mereka minta.
aku malas-malasan dalam bekerja, hari ini aku mau mencurahkan energiku sepenuhnya untuk pekerjaanku.
Hari ini kita dapat melihat bagaimana Allah memberikan kesempatan baru bagi manusia. Dalam bacaan pertama, setelah Nuh mempersembahkan kurban, Allah berjanji untuk tidak mengutuk dan tidak membinasakan manusia.
Dia akan memberikan rahmat-Nya terus menerus dalam rutinitas harian yang tetap berjalan seperti biasa.
Demikian juga dalam bacaan Injil, Yesus menyembuhkan orang yang buta. Dua kali Yesus mengusap mata si buta dan orang itu dapat melihat dengan jelas.
Kita mungkin akrab dengan istilah kesempatan dan seringkali kita menggunakannya untuk suatu bentuk pengharapan. Misalnya, „kesempatan kedua“, „ini kesempatan kita!“, „mungkin akan datang kesempatan berikutnya“, dst.
Kegembiraan muncul ketika kita memanfaatkan kesempatan dengan baik. Tetapi, tidak jarang pula bahwa kesempatan diungkapkan dengan nada kecewa, seperti „yah kesempatannya sudah lewat“, „mungkin bukan kesempatannya“, dll.
Kekecewaan muncul ketika kita merasa bahwa kita tidak menggunakan kesempatan dengan maksimal. Lalu kita bertanya, kapan dan seperti apa kesempatan itu dapat kita rasakan?
Hari ini kita merenungkan bahwa sepanjang waktu kita adalah waktu yang sudah diberkati. Kesempatan bukan hanya momen tertentu.
Kesempatan adalah kesadaran bahwa kegiatan kita sepanjang hari adalah jejak langkah perjalanan hidup kita.
Dan, cara kita memanfaatkan kesempatan tersebut adalah dengan mengoptimalkan setiap kegiatan harian.
Dengan demikian, tidak akan ada kesempatan yang terbuang dan sepanjang hari kita adalah selalu terberkati.
“Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan. Ia akan ditolak oleh para tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh, dan bangkit sesudah tiga hari”
hmm.. Apakah seseorang yang sedang menanggung penderitaan, sudah pasti menderita?
Bisakah seseorang justru mengalami sukacita dan gembira saat mengalami penderitaan?
—
Apa itu menderita, apa itu penderitaan?
—
Penderitaan, dirasakan secara inderawi.
Menderita, hanya ada di pikiran.
—
Kalau kita pikir orang yang menanggung penderitaan sudah pasti menderita, boleh kita tegas seperti Yesus, “ENYAHLAH IBLIS”
Iblis memikirkan apa yang dipikirkan manusia, menjauhi penderitaan dan tidak boleh menderita.
Menolong orang itu bisa membuat menderita lho. Harus memberikan waktu, tenaga, lelah, belum lagi kalau ditolak dan tidak dianggap. Ngapain capek dan makan hati? Jadi mending ga usah menolong, diem aja, cari saja kenyamanan untuk diri sendiri, karena nanti kamu yang menderita. Jadi daripada menderita, tidak usah bantu lah. Begitu kan seringnya muncul di pikiran?
Menolong orang bisa menjadi sukacita dan kebahagiaan, jika merupakan tindakan iman. Padahal saat itu ya capenya sama, makan hatinya sama, lelahnya ya sama, tapi kok hepi ya? Aku menanggung penderitaan karena banyak yang harus aku berikan, tapi aku ga menderita, aku hepi…
Ya karna kita telah melakukan perbuatan yang sama, seperti apa yang Tuhan telah buat untuk kita. Dia menanggung penderitaan, ditolak, dibunuh untuk menolong kita, agar selamat dari dosa.
Tuhan memang menanggung banyak penderitaan, tapi Dia tidak menderita.