Di Indonesia modal sosial dan tingkat dukungan toleransi terhadap kebebasan beragama relatif rendah

Populer

toleransi“Di Indonesia Modal sosial dan tingkat dukungan toleransi terhadap kebebasan beragama relatif rendah,” kata peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J. Vermonte dalam workshop di Rumah Doa Santa Maria Guadalupe, Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu-Minggu, 15-16/6.
Meningkatnya insiden intoleransi dan berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia belakangan ini, menurut Philips, merupakan isu penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ia menandaskan bahwa peristiwa-peristiwa kekerasan sejatinya menjadi ujian penting bagi demokrasi, prinsip pluralisme dan cita-cita Negara Kesatuan RI (NKRI). Insiden berbasis intolerasni telah banyak memakan korban nyawa. “Negara absen ketika kekerasan berbasis agama dilakukan kelompok mayoritas terhadap sekelompok warga minoritas,” katanya dalam workshop yang digelar oleh Forum Komunikasi Komisi HAK dan Kerawam (FKHK) Dekanat Timur itu.
Selanjutnya, Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS itu juga menambahkan bahwa masyarakat hari ini diliputi pandangan yang ‘abu-abu’ terhadap perlindungan kebebasan beragama dan permisif terhadap penggunaan kekerasan. “Pada level personal, masyarakat menerima kenyataan untuk hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Namun, masyarakat kita relatif enggan untuk memberikan tetangganya yang berbeda agama itu untuk menjalankan ibadahnya dalam bentuk rumah ibadah,” kata Philips.
Sementara itu, anggota DPRD DKI Jakarta, William Yani, juga mengakui masih rendahnya semangat toleransi tersebut. Ia langsung menunjuk contoh kasus demonstrasi penutupan Gereja Damai Kristus Paroki Kampung Duri, Jakarta Barat, baru-baru ini. Berdasarkan pengalamannya bergaul dengan teman-teman Muslim, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Katolik maupun Protestan dianggap terlalu eksklusif. “Menurut saya, umat Katolik harus banyak bergaul dengan kalangan Islam, khususnya dari Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah,” kata William mengimbau.
William juga prihatin karena Pancasila sebagai ideologi bangsa mulai terkikis oleh arus globalisasi. Penyelesaian konflik tak hanya menjadi tanggung jawab negara. Masyarakat yang berada di garda terdepan kehidupan bernegara dan bermasyarakat juga memiliki peran penting. Karena itu, umat Katolik sesungguhnya punya kewajiban untuk menjaga ketentraman dan keamanan negara ini.
Workshop bertemakan manajamen konflik itu diikuti Orang Muda Katolik (OMK) dan aktivis dari Komisi Kerawam dan HAK seluruh Dekenat Timur. Tujuannya, adalah mempersiapkan agar para OMK, aktivis di bidang kemasyarakatan, dan Dewan Paroki memiliki pengetahuan, pengalaman dan bekal, khususnya dalam upaya mengelola konflik yang baik. FKHK mengharapkan, para peserta akhirnya dapat menjadi tim negosiator di setiap paroki, sehingga mereka mampu menanggulangi konflik yang ada di wilayah masing-masing. – (hidupkatolik.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RADIO LINE KAJ

INFO TERBARU

TERPOPULER

ARTIKEL LAINNYA

Open chat
Butuh Bantuan?
Adakah yang bisa kami bantu?