Info Gembala Baik KAJ Edisi Ke-8/Thn3/2014
Artikel Renungan Uskup Agung Jakarta, Mgr. I Suharyo ini, telah diterbitkan dalam Edisi Cetak Info Gembala Baik Agustus 2014. Silahkan lihat versi PDF-nya di Info Gembala Baik 07/03/2014
Kebaktian kepada Hati Yesus Yang Mahakudus tersebar luas berdasarkan penglihatan-penglihatan yang diterima oleh Santa Margareta Maria Alacoque (1647-1690). Kebaktian ini terpusat pada “HATI”, yang memberi tempat luas untuk perasaan dan afeksi. Pengalaman dan perasaan manusiawi Yesus, khususnya kesengsaraan-Nya direnungkan dengan rasa haru dalam waktu yang lama, sampai seakan-akan orang beriman sendiri merasakan luka-luka tubuh dan jiwa Kristus dalam jiwa dan badan mereka sendiri. Orang terharu terutama karena kesengsaraan jiwa Yesus menunjukkan bahwa cinta-kasih-Nya yang tanpa batas tidak diterima oleh orang-orang berdosa. Oleh karena itu tumbuh keinginan dan kehendak yang sangat kuat untuk membalas kasih Yesus dengan cinta-bakti yang bernyala-nyala.
Setelah Paus Pius IX (1856) memasukkan pesta Hati Kudus Yesus ke dalam penanggalan liturgi, beberapa Paus menulis ensiklik berkenaan dengan pesta ini. Salah satu yang paling penting ialah yang ditulis oleh Paus Pius XII, yang menyatakan bahwa sembah bakti kepada Hati Kudus Yesus sangat bernilai dan penting dihayati oleh orang beriman.
Bentuk-bentuk kebaktian yang biasa dijalankan ialah Pesta Hati Yesus Yang Mahakudus, (sejak Pius IX), perayaan hari Jumat pertama (sejak St.Margareta Maria Alacoque) yang terdiri dari jam kudus (dilakukan pada hari Kamis malam menjelang Jumat pertama) untuk mempersatukan diri dengan Yesus yang menderita dan ditinggalkan seorang diri di taman Getsemani, Misa dan komuni silih atas dosa terhadap Yesus dalam Sakramen Mahakudus yang tidak diperhatikan atau malahan dilukai Hati-Nya oleh dosa-dosa.
Salah satu teks Kitab Suci yang sangat erat berkaitan dengan hari raya ini ialah Yoh 19:31-37, yang menceritakan lambung Yesus ditikam, dan dari sana mengalir darah dan air (19:34). Peristiwa ini begitu penting dan ditekankan oleh Yohanes sampai ia mengatakan: “Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya” (19:35). Peristiwa ini menjadi lambang yang menyatakan arti wafat Yesus di kayu salib, yang dapat dimengerti dengan baik kalau kita dapat menangkap lambang-lambang yang dipakai.
Pesta Hati Kudus mengajak kita untuk merenungkan sejarah hidup kita sebagai sejarah Allah yang memper-hati-kan kita dengan kasih-Nya yang tidak mengenal batas. Kasih itu tidak membiarkan kita berjalan menurut arah yang kita pilih sendiri. Kasih Allah mendidik kita, seperti dulu kasih yang sama mendidik umat Allah Perjanjian Lama (Hos 11:1-9) agar kita berani mengarungi samudera kehidupan. Kasih itu mendorong dan menggerakkan hati kita, agar kita pun selalu siap untuk membagikan kasih. +Mgr. Suharyo (**)
“Ayo menjadi Guru TK Idaman.”
Demikian ajakan Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Jakarta (MPK-KAJ) dengan mengadakan Pelatihan Guru TK se-KAJ pada Jumat, 12 September 2014 di Aula TK St. Maria, Juanda Jakarta Pusat. Hal ini penting mengingat Guru TK adalah salah satu Panutan dan Model bagi anak-anak sejak dini. Selain itu pelatihan ini semakin penting juga, agar para Guru bisa dipercaya orang tua untuk menjadi partner dalam mendidik anak-anak mereka dalam terang iman Katolik.
Pelatihan ini menghadirkan narasumber Bpk. Fidelis Waruwu. Sangat diharapkan Suster/Ibu Kepala TK mengutus seluruh gurunya ikut pelatihan ini. Info hubungi: Sr. Margriet, PIJ (08211 0480 818); Sr. Elisabeth, PIJ (0813 1034 6599); Ibu Vincent (08788 4552 467) atau Ibu Laurentia (0815 1108 5051). (**)
Gereja dipanggil menciptakan budaya pelayanan penuh kasih. Spiritualitas melayani harus membadan dalam ucapan dan tindakan keseharian.
Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menggulirkan sebuah gerakan untuk semakin menghadirkan wajah Gereja yang melayani. Dalam Arah Dasar Pastoral (Ardas) KAJ 2011- 2015, tahun 2014 ini, umat KAJ diajak meng hayati dan menghidupi Tahun Pelayanan. Gerakan yang baru digulirkan ini merupakan salah satu upaya KAJ menampilkan jati diri Gereja.
Menurut Vikaris Jenderal KAJ ini, jati diri Gereja dapat dilihat dalam empat hal. Pertama, cita-cita atau visi dan misi Gereja. Kedua, struktur Gereja. Gereja Katolik dikenal memiliki struktur yang amat kuat, dari kepausan hing ga lingkungan-lingkungan. Ketiga, leadership atau kepemimpinan. “KAJ me rumuskan kepemimpinan sebagai jati diri Gereja dalam dua kata yakni par tisipatif dan transformatif,” urai Romo Subagyo. Gereja sebagai sebuah per sekutuan umat beriman dan gerakan mewujudkan Kerajaan Allah, harus melibatkan banyak pihak dalam mengambil kebijakan. Gereja juga menjadi lembaga yang terus-menerus bertransformasi, mengubah menjadi lebih baik. “Maka, tata kelola paroki harus bergerak menuju ke arah yang lebih baik,” imbuhnya.
Dan, keempat, adalah culture atau budaya lembaga. Gereja harus menciptakan budaya penuh kasih dan nyaman bagi siapapun. Umat harus dibuat senang dan bersyukur, karena sudah menjadi bagian Gereja. Maka, gerakan untuk menciptakan pelayanan prima di paroki-paroki merupakan upaya untuk menghadirkan suasana Gereja yang semakin dipenuhi kasih dan disemangati roh pelayanan.
Berikut petikan wawancara dengan Romo Subagyo:
Mengapa pelayanan prima?
Pelayanan prima merupakan salah satu cara untuk membentuk dan menghadirkan jati diri Gereja. Pelayanan prima ini adalah budaya yang me njadi ciri khas dari sebuah lembaga. Nah, salah satu yang khas dari lembaga Gereja adalah semangat melayani. Kadangkala, kita begitu fasih berbicara tentang semangat kasih, spiritualitas pelayanan, namun semangat dan spiritualitas itu tidak pernah membadan dalam ucapan dan perilaku kita.
Bagaimana pelayanan prima ini diwujudkan?
Saat ini, hampir semua lembaga swasta ataupun instansi pemerintah berlomba-lomba menghadirkan pelayanan yang baik. Lalu, bagaimana dengan pelayanan di paroki-paroki? Kadangkala, pelayanan di sekretariat paroki tidak lebih baik dari kantor kelurahan. Birokrasinya berbelit-belit, dan pe layanannya juga tidak memuaskan.
Melihat kondisi ini, menurut saya, diperlukan sebuah transformasi, sebuah perubahan. Tidak mengubah semua, tetapi mengubah menjadi semakin lebih baik. Dan, proses ini dimulai dari mereka yang berada di garis depan pelayanan umat, yakni para pegawai sekretariat paroki. Mereka perlu dibekali dengan pola pikir dan keterampilan-keterampilan dalam melayani umat. Mulai dari hal-hal yang paling sederhana, seperti cara menerima telepon, berbusana, menyapa tamu, menghadapi beragam keluhan umat, dan yang lain. Pola pikir mereka juga harus terarah kepada pelayanan yang ramah dan tulus hati.
Saya menyadari, ini akan mengubah budaya atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dan sudah mapan selama ini. Tapi, ini harus dilakukan untuk menampilkan Gereja yang semakin ramah, Gereja yang semakin melayani. Melalui pelayanan yang prima dari para pegawai sekretariat paroki, diharapkan umat akan semakin merasakan kehadiran Allah secara nyata.
Apa harapan terhadap gerakan ini?
Gerakan yang baru dimulai ini bisa memberikan dampak yang besar.Semo ga gerakan ini juga terus bergulir di paroki-paroki di KAJ, atau bahkan me nular ke keuskupan lain. Saya yakin, Roh Kudus akan terus berkarya, mungkin dengan cara-cara yang sederhana, untuk mengubah wajah Gereja sebagai persekutuan dan gerakan yang semakin melayani. Karena, jati diri Gereja adalah persekutuan umat beriman yang melayani.
Aprianita Ganadi (hidupkatolik.com)
Dalam menggalang kerjasama antar paroki, menghidupkan komunitas lansia paroki dan menyalurkan hobi para lansia, maka Komunitas Pastoral Adi Yuswa (Lansia) Siemon Hanna, mengundang para lansia mengikuti Lomba Paduan Suara memperebutkan Piala Bergilir Uskup Agung Jakarta pada Sabtu, 13 September 2014, Pk. 09.00 di Aula Katedral Jakarta. Pemenangnya akan tampil dalam Misa Lansia Sedunia 1 Oktober 2014.
Tambahan Hadiah:
Juara 1: Piala dan dana pembinaan Rp. 5.000.000,-
Juara 2: Piala dan dana pembinaan Rp. 3.000.000,-
Juara 3: Piala dan dana pembinaan Rp. 1.500.000,-
Tema Lomba: Semangat Berkarya tak Lekang Usia
Lagu yang dilombakan:
Tingkat Dekenat maupun KAJ: Menyanyikan 1 Lagu Wajib dan 1 Lagu Pilihan
– Mars Lansia, Cipt. CB. Hardjowiyono (1 kali saja)
– Masa Tua Bahagia, Cipt. Christoforus (1 kali saja)
– Sampai Masa Tuamu, Cipt. Drs. Ec. Elly (2 kali)
Ketentuan:
Kriteria Penilaian:
Info hubungi: Sdr. Clemens Simanullang (0816 1964 585) dan PEMIKAT KAJ: 021-3519193
Bacaan: Yeh. 37:1-14; Mzm. 107:2-3,4-5,6-7,8-9; Mat. 22:34-40; BcO Pkh. 8:5 – 9:10
Bacaan Injil Mat. 22:34-40:
34 Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka 35 dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: 36 “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” 37 Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Renungan:
Hari ini saya kembali kagum pada kemampuan Yesus merangkum ajaran dan hukum yang ditemui. Rangkuman ajaran itu adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:40). Rangkuman Yesus ini pasti memudahkan para murid, juga kita, dalam memahami ajaranNya dan membingkai pengajaran kita.
Sebagai seorang murid saya selalu senang kala guru/dosenku memberikan rangkuman materi pengajarannya. Sebaliknya sebel dan males kalau guru/dosen ngajarnya berbelit-belit dan tidak jelas.
Salah satu dosen yang kuingat selalu membuat skema materi pengajaran yang gampang kupahami adalah Rm Sudiarjo SJ. Jujur (maaf ya MoDipo dosen dan sahabatku), lebih mudah membaca skema beliau daripada mendengarkan beliau kala ngajar. Dan untungnya beliau murah hati, selalu meninggalkan skemanya kala istirahat dan aku boleh melihatnya. Aku pun mempelajari skema beliau dan kemudian membuat sendiri setelah selesai kuliah.
Belajar dari Yesus marilah kita belajar merangkum dengan baik segala pengajaran yang kita terima dan merumuskannya kembali sebagai rumusan yang gampang dimengerti. Membuat yang rumit jadi sederhana dan tidak memperumit yang sederhana.
Kontemplasi: Bayangkan Yesus lagi mau dijebak dengan pertanyaan. Yesus tenang dan malah memberi jawaban yang membuat para penjebaknya terkagum2. Coba padankan dengan salah satu pengalamanmu.
Refleksi: Tulislah pengalamanmu kala menanggapi jebakan2 yang pernah kaualami.
Doa: Yesus, terima kasih atas pengajaranMu yang menjadi patokan hidup kami: mengasihi Tuhan dan sesama. Semoga banyak guru/dosen sungguh membantu siswa-siswinya memahami yang diajarkan bukan memperumitnya. Amin.
Perutusan: Aku akan terus belajar mempermudah yang rumit dan tidak menjadikan rumit yang mudah.
(www.sesawi.net)
Dalam pandangan Gereja Katolik terkait dengan aborsi yaitu kita menolak tegas dilakukannya aborsi. Sudah banyak dokumen Gereja yang berbicara tentang penghargaan atas kehidupan dan bahkan yang secara khusus dan tegas mengatakan menolak aborsi.
Katekismus Gereja Katolik yang dipromulgasikan dalam rangka memperingati 30 tahun pembukaan Konsili Vatikan II (11 Oktober 1992) oleh Paus Yohanes Paulus II meringkas secara padat ajaran Gereja Katolik mengenai aborsi pada nomor 2270-2279. Pertama-tama disampaikan masalah perlindungan terhadap janin, “Hidup manusia haruslah dihormati dan dilindungi secara absolut sejak dari saat pembuahan. Sejak saat pertama keberadaannya, seorang manusia haruslah diakui bahwa dia mempunyai hak sebagai seorang pribadi-diantaranya adalah hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak bisa diganggu gugat bagi orang yang tak bersalah.”
Berikut adalah kisah sikap penolakan Paus Fransiskus terhadap aborsi dengan merencanakan akan mengunjungi kuburan para bayi korban aborsi di Korea Selatan. Selama perjalanannya ke Korea Selatan, Paus Fransiskus mengunjungi dan berdoa di Pemakaman untuk Bayi-bayi yang di aborsi” sebagai bagian dari kunjungan ke Wisma Kkottoghnae untuk orang sakit.
Juru bicara Vatikan, Pastor Federico Lombardi juga menyampaikan dalam konferensi pers belum lama ini bahwa Bapa Suci akan memberikan pidato dalam bahasa Inggris dan akan mengikuti adat istiadat setempat seperti melepas sepatu sebelum memasuki tempat-tempat tertentu.
Wisma Kkottongnae terletak di Keuskupan Cheongju, Korea Selatan, yang didirikan tahun 1976 oleh Pastor John Oh, pendiri Saudara-Saudari Yesus Kkottongnae.
Imam itu mendirikan wisma itu terinspirasi oleh seorang pengemis jalanan bernama Choi Dong Gwi yang memberi makan kepada 18 pengemis yang sakit meskipun ia sendiri mengalami cacat fisik.
Wisma ini memberikan bantuan kepada para tunawisma, orang cacat, dan pecandu alkohol. Saat ini ia melayani sekitar 5.000 orang.
Pemakaman untuk bayi-bayi aborsi tersebut terletak di belakang wisma itu dan termasuk sebuah patung Keluarga Kudus yang dikelilingi oleh salib-salib yang dipasang di makam-makam para bayi aborsi.
Diumumkan oleh Vatikan pada Maret, Paus akan mengunjungi Korea dari tanggal 13 hingga 18 Agustus menyusul undangan dari Presiden Republik Korea Selatan, Park Geun-hye, dan para uskup dari Korea.
Bertajuk “Rise Korea, clothe yourself in light, the Lord’s glory shines upon you,” kunjungan Paus itu dimulai dengan keberangkatannya dari Roma pada malam Rabu (13/8). (ucanews.com)
Di tengah terik mentari dan kencangnya tiupan angin, 6 Agustus 2014 Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta memberkati Gua Maria di Rutan Kelas 1 Cipinang Jakarta. Demikian kencangnya angin sehingga lilin altar pun padam semua. “Tidak perlu harus dinyalakan kembali lilin itu karena pasti akan mati lagi. Yang penting mari kita hidupkan hati kita masing-masing merayakan pemberkatan Goa Maria Pengantara Segala Rahmat ini,” ajak Mgr. Suharyo sebelum meneruskan kotbahnya yang didampingi oleh Rm. Yohannes Subagio (mantan Vikjen KAJ), Rm. Antonius Gunardi MSF dan Rm. Antonius Suyata MSF.
Mgr. Suharyo mengingatkan kita bahwa dalam Pesta Penampakan Kemuliaan Tuhan Yesus Kristus di Gunung Tabor, Yesus berpesan agar Petrus dan kawan-kawannya tidak menceritakan kejadian itu. Sebab kemulian yang mereka lihat itu belum sempurna. Justru kemuliaan itu sempurna setelah penyaliban Yesus. Tampaknya paradoksal tetapi sebenarnya tidak. Kita menganggap paradox karena hal mulia itu kita bayangkan dan artikan sebagai sesuatu yang luar biasa. Kemuliaan Tuhan itu justru tampak juga dalam kelemahan, kekalahan dan penderitaan. Kemuliaan itulah yang disaksikan Petrus dan kawan-kawan hingga di kayu salib, penderitaan yang begitu hebat tetapi yang menampakkan kasih yang begitu sempurna.
Kasih sempurna seperti itu pula yang pernah diungkapkan oleh Beata Theresia Benedicta dari Salib. Gadis berdarah Jahudi – Jerman ini sejak 14 thn telah memutuskan untuk tidak percaya lagi pada Tuhan dan tidak mau berdoa lagi. Padahal dia lahir dari keluarga yang sangat agamis agama Yahudi. Setelah dewasa dia menjadi perawat di PD I dan mahasiswa ilmu filsafat. Pada suatu hari dia melayat temannya yang baru kehilangan suami karena sakit. Dalam catatan harian dia menulis :”Saya baru melihat ketabahan kekuatan dan ketabahan ilahi dalam diri temannya yang kehilangan suami.” Pada saat itu juga keputusannya yang dia buat pada usia 14 thn dia ditinggalkan. Dia menjadi Katolik dan masuk ke pertapaan Karmel. Theresia menjadi korban perang karena sebagai orang Yahudi dia diseret dan ikut dibantai. Dicatatan hariannya yang lain dia tuliskan :”Kekuatan ilahi dan ketabahan ilahi dalam diri teman saya itu dianugerahkan Kristus bagi orang-orang yang mengalami salib agar mampu disatukan dengan salib Kristus sendiri.”
Mgr. Suharyo menandaskan untuk bisa mengalami kemulian Allah, tidak perlu dicari jauh, tidak perlu ke Gunung Kawi atau ke Gunung Tabor. Kalau kita punya kepekaan hati maka akan sangat mudah kita dapatkan di kehidupan sehari-hari. Bahkan St. Irenius mengatakan :”Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup!” Jadi kemulian Alllah dapat kita lihat dan harus kita lihat di dalam diri saudara-i kita siapa pun dia dan dalam keadaan apapun dia. Kita adalah cermin kemuliaan Tuhan. Seperti cermin ada yang baru, ada yang kabur dan bahkan ada yang sudah tidak memberikan cermin. Tugas kita adalah memulihkan kembali cahaya cermin itu. Itulah yang dilakukan oleh Komunitas Persaudaraan Rosario dengan mempersembahkan Goa Maria Pengantara Segala Rahmat di Rutan Cipinang ini.
Goa ini dipersembahkan untuk mencerahkan kembali cermin itu. Maria adalah Ratu kita, dan dia menyimpan segala peristiwa hidup yang dialaminya di dalam hatinya. Seperti Maria, banyak pengalaman dan peristiwa hidup yang tidak kita mengerti. Maria tidak tahu pasti tugas yang akan dia emban ketika dipanggil Allah menjadi bunda Yesus. Tetapi bagi Maria peristiwa apapun yang melintas di hidupnya dia yakin pasti ada rencana Tuhan disana yaitu supaya cermin itu terang kembali.
Dalam Bahasa Jawa di Goa ini kita memiliki kesempat untuk eng, ing, ung. Kita duduk tenang berdoa dan berdevosi. Atau kita sekedar duduk berdiam diri dalam hening. Dalam keheningan kita bisa kembali bening sehingga kita dimampukan untuk kembali ke jati diri kita dan tujuan arah hidup kita yaitu menuju gunung suci tempat kemuliaan itu.
Sejalan dengan harapan Mgr. Suharyo, kepala rutan Cipinang Agus Haryanto juga berharap Goa Maria Pengantara Segala Rahmat dapat membawa manfaat dan menambah keimanan bagi orang Kristen khususnya umat Katolik. “Karena itu saya berharap semua pihak menjaga dan merawat tempat ibadah ini agar tetap dapat digunakan pihak-pihak yang membutuhkan layanan,” ungkap Agus dalam pidato peresmian pembukaan goa itu.
Sonar Sihombing
Sebelumnya Anda bisa melihat Artikel lain yang terkait ini: Apa yang Terjadi Jika Timur Tengah Tanpa Orang Kristen?
Pengusiran orang Kristen di Mosul, Irak oleh Khalifah Islam Irak-Suriah serta peran aktif Gereja Saint Porphyrius di Gaza dalam menolong pengungsi Muslim Palestina mungkin membuat kita penasaran asal mula munculnya orang Kristen ada di kawasan Asia Barat Daya (atau lazim disebut sebagai Timur Tengah).
Sebenarnya sebagian besar lokasi kisah-kisah dalam Injil berada di Timur Tengah. Yesus lahir di Betlehem – kini ada di kawasan Negara Palestina. Dibesarkan di Nazaret – kini ada di Israel dan mati di Yerusalem – kini disebut Yerusalem Timur. Menurut Injil Matius, Yesus ketika masih bayi mengungsi ke Mesir, Afrika bagian utara. Ada petilasan di Kairo yang didedikasikan kepada Keluarga Kudus ini.
Setelah Yesus naik ke surga, murid-murid-Nya menyebar ke penjuru dunia. Kisah Para Rasul mencatat kejadian yang menarik. Pada Pasal 2:7-11 tertulis, “Mereka semua tercengang-cengang dan heran, lalu berkata, ‘Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa tempat kita dilahirkan; kita orang Persia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libya yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.’”
Setidaknya ada 15 bangsa dan negara disebutkan dalam lima ayat tersebut. Persia, Media, Mesir, dan Libya adalah daerah-daerah yang membentang dari Timur Tengah hingga Afrika bagian utara. Secara spesifik disebut juga etnis Arab dalam cerita tentang pencurahan Roh Kudus pada perayaan Pentakosta tersebut.
Jika Paulus menyebarkan Injil Kristus mengarah ke Barat, ke pusat pemerintahan Romawi – kota Roma – dan akhirnya menyebar ke seluruh Eropa. Rasul-rasul tercatat menyebarkan kekristenan ke Timur. Matius dikenal sebagai penyebar kekristenan di Suriah dan Persia (Partia – kini Iran), Thomas dikenal menyebarkan Injil sampai ke India. Rasul Filipus sangat dihormati di kalangan Kristen di Gaza dan Ethiopia.
Setelah penganiayaan para pengikut Kristus meningkat seiring dengan kematian Yesus Kristus – juga kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surge – pusat kekristenan bergeser ke Antiokhia. Sebuah kota metropolitan di kekaisaran Roma. Kini Antiokhia dikenal sebagai Antakya yang terletak di perbatasan Turki dan Suriah.
Banyak di antara Gereja-gereja di Timur mengaku sebagai anak Gereja dari Gereja Antiokhia ini. Misalnya, Gereja Ortodoks Siria (kini dianut banyak orang Kristen Suriah, Irak, dan Iran), Gereja Khaldean (banyak dianut penduduk Mosul, Irak), Gereja Ortodoks Yunani (mayoritas penganut berada di Turki, Palestina, Yordania), Gereja Koptik di Mesir dan Ethiopia, dan Gereja Armenia (banyak dianut di Iran dan Armenia).
Pada abad keenam, lahirlah agama Islam di jazirah Arab dan dianut oleh suku-suku di daerah itu. Agama baru ini membawa kesatuan warga di wilayah yang selama ini dirundung pertikaian. Seiring dengan perluasan kekhalifahan kondisi ini memengaruhi Gereja-gereja di kawasan Timur Tengah walaupun tidak ada pemaksaan untuk menganut kepercayaan baru. Sebab, Islam menghormati Yesus sebagai salah satu Nabi Allah.
Namun, keadaan menjadi berat bagi kekristenan Timur Tengah terutama oleh perkembangan teologi Kristen dan timbul berbagai mazhab yang diperparah dengan persaingan antara Gereja Timur dan Barat. Pada 1054, Gereja yang berpusat di Roma dan yang berpusat di Konstantinopel (kini Istanbul—Turki) memutuskan untuk berpisah.
Tidak lama setelah pemisahan tersebut, terjadi Perang Salib – perang perebutan wilayah antara kerajaan-kerajaan di Eropa melawan Khalifah Islam. Perang-perang tersebut benar-benar menyengsarakan orang-orang Kristen di Timur Tengah.
Bagi orang Kristen Timur Tengah, Perang Salib tidak membawa keuntungan apa pun. Di mata prajurit Barat orang Kristen Timur Tengah adalah mereka yang menyimpang dari ajaran yang benar.
Terjadi pembunuhan besar-besaran baik atas orang-orang Islam maupun atas orang-orang Kristen Timur Tengah, antara lain di Antiokhia (1098), Yerusalem (1099), Kaisarea (1101), Beirut (1110), Edessa (1146), Yerusalem (1244), Antiokhia (1268), Tripoli (1289), Akko (1291), dan Aleksandria (1365).
Akibat lainnya adalah hubungan antara orang Kristen Timur Tengah dengan penguasa Islam setempat. Sebab, mereka dicurigai sebagai orang yang dahulu pernah mendukung musuh – pasukan Salib karena dianggap seagama – kondisi ini yang masih terus terjadi hingga masa modern ini.
Dua Perang Dunia makin menyengsarakan
Berakhirnya Perang Dunia Pertama yang ditandai dengan runtuhnya Kekhalifahan Ustmaniyah (Kekaisaran Ottoman Turki) membawa korban di antara orang Kristen Timur Tengah.
Ustmaniyah menanggapi kekalahannya melawan Rusia di Armenia dan Kaukasus, dengan menyerang minoritas Armenia yang mayoritas menganut agama Kristen. “Ada dua alternatif: Armenia akan melibas Turki, atau Turki akan melibas mereka,” tulis pejabat Ustmaniyah Mehmed Resid dalam memoarnya.
“Dihadapkan dengan kebutuhan untuk memilih, saya tidak lama ragu-ragu. Sebelum mereka melakukan dulu kepada kami, kami akan menyingkirkan mereka.”
Sebanyak dua ribu pemimpin Armenia ditangkap dan dibantai di Istanbul pada 24 April 1915. Peristiwa ini digambaran sebagai genosida pertama abad ke-20. Meskipun negara Turki saat ini membantah istilah itu.
Dalam kurang darisatu tahun, ratusan ribu dipaksa mengungsi, harta benda mereka disita, dan banyak dari mereka tewas.
Armenia didukung banyak sejarawan dan sejumlah parlemen asing menyebutkan hingga 1,5 juta orang Armenia dibunuh secara sistematis di hari-hari terakhir Kesultanan Ottoman. Bersamaan dengan itu juga terjadi genosida terhadap orang-orang Yunani dan Asyiria – mereka juga menganut Kristen – di wilayah Ustmaniyah. Wilayah Kekaisaran Ottoman menjadi koloni pemenang perang: Inggris dan Prancis.
Mendekati dan setelah Perang Dunia II usai, negara-negara koloni Inggris dan Prancis memberontak dan menetapkan kemerdekaanya. Mesir, Lebanon, Yordania, Irak, dan Siprus. Kemerdekaan bangsa-bangsa tersebut seiring dengan meningkatnya kesadaran nasionalisme Arab.
Kristen Timur Tengah Kini
Seiring meningkatnya ekstremisme penganut Islam di daerah itu dan campur tangan terlalu dalam pihak Barat – yang banyak didasari kepentingan ekonomi – penganiayaan terhadap komunitas Kristen di Timur Tengah makin berat. Ada yang mengatakan bahwa penganiayaan ini belum pernah terjadi bahkan saat masa kekhalifahan Ustmaniyah. (Indonesia.Ucanews.com dan SinarHarapan.com)