Disusun oleh:
Komisi PSE dan Komisi KKS
“Tiada Syukur Tanpa Peduli”
DOWNLOAD BAHAN PERTEMUAN PRAPASKAH 2015
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengutamakan guru agama mesti berwawasan inklusif, terlebih menyangkut pandangan perihal keragaman beragama yang dianut bangsa Indonesia.
“Selama ini minim sekali mereka (guru agama) memperoleh input berkenaan dengan bagaimanakah agama itu lebih ditonjolkan sisi-sisi substantifnya, esensinya, jadibukanlah ritual resmi keagamaannya saja. Lantaran ritual resmi masing-masing agama itu tidak sama, ” tutur Menag Lukman, seperti ditulis kemenag.go.id.
Menurut Menag, segi yang penting juga yaitu bagaimanakah tiap-tiap guru agama berkemampuan untuk mentransformasikan pengetahuan ke peserta didik berkenaan beberapa hal substantif, esensial dari agama, yakni memanusiakan manusia, yang jadi hakikat dari agama.
Bila mengajarkan, umpamanya, mengemukakan tauhid bahwa Tuhan itu Esa, semestinya tak sebatas doktriner Tuhan itu Esa. Menag Lukman memiliki pendapat, bahwa guru mesti dapat menuturkan keesaan Tuhan yang tidak terbatas serta terbatasnya manusia.
“Dengan langkah seperti itu, karena kita manusia adalah terbatas, jadi tak bisa diantara kita terasa paling benar, ” kata Menag.
Menag memberikan, yg tidak terbatas itu yaitu yang Maha Esa itu yang tanpa ada batas. Sesaat diluar yang Maha Esa itu seluruhnya mempunyai terbatasnya. Lantaran kita, sesama manusia, mempunyai terbatasnya, tak pada tempatnya bila kita juga sebagai manusia mengklaim diri paling benar.
Tentu saja dalam lingkup iman kita dapat merasa bahwa iman kita paling benar, tetapi berhadapan dengan keanekaragaman, maka sikap toleransilah yang diutamakan! “Dengan sikap demikianlah, toleransi serta tenggang rasa dibangun, kita dapat sama-sama menghormati serta dihormati, ” lanjut Menag.
Menjawab pertanyaan perihal ada arus “penolakan” pada salah satu ketetapan UU Sisdiknas di mana tiap-tiap sekolah mesti sediakan Guru Agama saat bakal diputuskan sebagai UU pada saat itu, Menag menyatakan, UU itu sesungguhnya mau memberi jaminan pada tiap-tiap warga negara, terutama yang masih tetap jadi siswa, untuk memperoleh pendidikan agama.
Prinsipnya, Menag menyatakan, tiap-tiap peserta didik tanpa ada kecuali memiliki hak memperoleh pendidikan, serta negara harus memberi pendidikan. Pendidikan disini termasuk juga pendidikan agama, hingga tiap-tiap instansi pendidikan itu berkewajiban memberi pendidikan agama sesuai dengan agama yang diyakini siswa.
“Itu keharusan, UU memerintahkan seperti itu. Jadi bila ada siswa beragama A, dia harus memperoleh pendidikan agama A, tak bisa agama B atau C. Guru yang mengajarkan pendidikan agama itu mesti seagama dengan agama yang di ajarkan. Jadi, tak dapat saya beragama Islam mengajarkan agama Kristen. Atau orang Kristen mengajarkan agama Hindu. Itu tak bisa, ” lebih Menag.
Itu seluruhnya ditata dalam UU Sisdiknas Nomer 20 Th. 2013 untuk memberi jaminan bahwa bukan sekedar anak yang usia belajar itu dapat memperoleh pendidikan agama, namun juga jaminan pendidikan agama yang didapatkan yang di terima oleh anak itu yaitu pendidikan agama yang benar lantaran didapatkan dari guru seiman.
“Karenanya, tiap-tiap instansi pendidikan mesti konsekwen dengan amanah UU itu, ” tegas Menag. (kemenag.go.id)
Menandai Hari Doa, Paus Fransiskus menentang perdagangan manusia dengan meminta pemerintah seluruh dunia menghapus “luka memalukan” ini yang tidak memiliki tempat dalam “masyarakat sipil.”
“Masing-masing dari kita merasa berkomitmen untuk menyuarakan kasus ini, saudara-saudara kita, martabat mereka dipermalukan,” kata Bapa Suci dalam audiensi di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, usai Doa Angelus.
Pada 8 Februari Hari Doa bertepatan dengan Pesta Santo Josephine Bakhita, seorang biarawati Sudan abad ke-19, yang pada saat itu ia masih berusia anak-anak dan telah menjadi korban perbudakan, kata Paus.
Paus Fransiskus memberikan dorongan kepada mereka yang bekerja untuk mengakhiri perdagangan “laki-laki, perempuan, dan anak-anak” yang “diperbudak, dieksploitasi, disalahgunakan sebagai alat untuk bekerja atau kesenangan, dan sering disiksa dan dipermalukan.”
Dia kemudian menyerukan pemerintah seluruh dunia untuk bertindak dalam “menghapus penyebab luka memalukan ini … luka yang tidak layak dalam masyarakat sipil.”
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan sebanyak 2,5 juta orang hidup sebagai korban perdagangan manusia.
Berbicara menjelang Doa Angelus, Paus Fransiskus fokus pada penyembuhan dengan mengacu pada Injil hari itu (Markus 1: 29-29) yang mengisahkan penyembuhan ibu mertua Petrus.
“Berkhotbah dan menyembuhkan: ini adalah kegiatan utama Yesus dalam kehidupan dalam masyarakat,” kata Bapa Suci.
Setelah datang ke bumi untuk “mewartakan dan membawa keselamatan seluruh umat manusia,” kata Paus, Yesus menunjukkan kasihnya dengan menyembuhkan orang-orang yang terluka secara fisik dan rohani: “orang miskin, orang-orang berdosa, kerasukan, orang sakit, orang yang dikucilkan.”
“Dia adalah Juru Selamat sejati. Yesus menyelamatkan, Yesus memulihkan, Yesus menyembuhkan”.
Rabu, 11 Februari 2015
Kebijaksanaan Hati “Aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayub 29:15)
Saudara-saudara terkasih,
Pada Hari Orang Sakit Sedunia yang ke-23 ini, yang telah dimulai oleh St. Yohanes Paulus II, saya kembali kepada Anda semua yang menderita sakit dan yang dalam berbagai cara disatukan dengan penderitan tubuh Kristus, dan juga kepada Anda, para ahli dan relawan di bidang perawatan kesehatan.
Tema tahun ini mengundang kita untuk merenungkan satu ungkapan dari Kitab Ayub; “Aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayb 29:15). Saya ingin mengulas ungkapan ini dari sudut pandang “sapientia cordis”-kebijaksanaan hati.
1. Kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang teoritis, pengetahuan abstrak, atau hasil penalaran logis. Lebih dari itu, dalam suratnya St. Yakobus melukiskan kebijaksanaan sebagai “hikmat yang murni, selanjutnya pendamai, peramah lemah-lembut, penurut, penuh kasih, penuh belas-kasihan dan buah-buah baik, tidak ragu dan tidak munafik” (Yak 3:17).
Inilah cara pandang yang dijiwai Roh Kudus di dalam pikiran dan perasaan mereka yang peka terhadap penderitaan saudari-saudarnya dan yang dapat memandang di dalam diri mereka gambar Allah. Untuk itu, marilah kita daraskan doa Pemazmur: “ Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mzm 90:12). “Kebijaksanaan hati” yang merupakan karunia Allah ini adalah rangkuman dari buah-buah hari Orang Sakit Sedunia.
2. Kebijaksanaan hati berarti melayani saudari dan saudara kita. Kata-kata Ayub: “Aku menjadi mata bagi orang buta , dan kaki bagi orang lumpuh,” menunjukkan pelayanan orang saleh ini, yang menikmati kekuasaan tertentu dan memiliki posisi penting di antara orang-orang tua di kotanya, memberikan bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Keagungan moralnya menemukan ungkapan tepat dalam pertolongan yang ia berikan kepada penderita yang berteriak minta tolong serta dalam kepeduliannya kepada anak yatim piatu dan janda-janda (Ayb 29:12-13)
Dewasa ini betapa banyak orang Kristiani yang menunjukkan, bukan dengan kata-kata tetapi dengan hidup yang berakar dalam iman sejati, bahwa mereka adalah “mata bagi orang buta, dan “kaki bagi orang lumpuh!” Mereka dekat dengan orang-orang sakit yang memerlukan perhatian dan bantuan terus menerus untuk membersihkan diri, memakaikan pakaian dan menyuapkan makanan.
Pelayanan seperti ini, khususnya bila berlarut-larut, bisa menjadi sesuatu yang melelahkan dan membebani. Relatif lebih mudah membantu orang selama beberapa hari saja, tetapi sulit merawat orang selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun., apalagi dalam beberapa kasus khusus, bila tidak ada ungkapan terima kasih. Namun, sebenarnya betapa agung jalan pengudusan ini.! Dalam saat-saat yang sulit itu secara khusus kita dapat mengandalkan kedekatan Tuhan, dan kita menjadi sarana istimewa bagi perutusan Gereja.
3. Kebijaksanaan hati berarti berada bersama dengan saudari-saudara kita. Waktu yang dilalui bersama dengan orang sakit adalah waktu yang suci. Ini adalah cara memuji Tuhan yang menyelaraskan kita dengan gambar Putera-Nya yang “datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28). Yesus sendiri mengatakan: “Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk 22:27).
Dengan iman yang hidup, marilah kita mohon kepada Roh Kudus supaya berkenan melimpahkan rahmat-Nya kepada kita untuk memahami kesiapsediaan diri yang seringkali tidak terkatakan untuk meluangkan waktu bersama saudari-saudara yang, dengan rasa terima kasih atas kedekatan dan kasih sayang kita, merasa lebih dicintai dan dikuatkan. Di sisi lain, tersembunyi suatu kebohongan besar di balik ungkapan tertentu yang menekankan pentingnya “kualitas hidup”, sehingga membuat orang-orang berpikir bahwa hidup yang dijangkit penyakit berat bukanlah hidup yang berharga!
4. Kebijaksanaan hati berarti keluar dari diri sendiri menuju saudari-saudara kita. Adakalanya kita mengabaikan nilai istimewa dari waktu yang dilewatkan bersama dengan orang yang sakit di pembaringannya karena kita begitu terburu-buru; terjebak dalam kesibukan untuk melakukan sesuatu, untuk menghasilkan sesuatu, sehingga kita abai untuk memberikan diri sendiri secara bebas, untuk peduli kepada orang lain, dan bertanggung jawab terhadap orang lain. Di balik sikap seperti itu seringkali iman yang suam-suam kuku melupakan Firman Tuhan: “kamu telah melakukannya untuk aku” (Mat 25:40).
Oleh karena itu, saya akan menekankan kembali “prioritas mutlak “ keluar dari diri sendiri untuk masuk ke dalam kehidupan saudari-saudara kita’ sebagai satu dari dua perintah utama yang mendasari setiap norma moral dan sebagai tanda paling jelas untuk menilai pertumbuhan rohani dalam menanggapi anugerah yang diberikan Allah dengan cuma-cuma” (Evangelii Gaudium, 170). Sifat missioner Gereja menjadi sumber dari amal kasih yang berdaya guna dan bela-rasa yang memahami, membantu dan memajukan (ibid).
5. Kebijaksanaan berarti menunjukkan solidaritas dengan saudari-saudara kita tanpa menghakimi mereka. Beramal kasih membutuhkan waktu. Waktu untuk merawat orang-orang sakit dan mengunjungi mereka. Waktu untuk berada di samping mereka seperti teman-teman Ayub : “Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorang pun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat bahwa sangat berat penderitaannya” (Ayb 2:13).
Tetapi, teman-teman Ayub memendam penghakiman terhadapnya : bahwa kemalangan Ayub adalah hukuman Tuhan atas dosa-dosanya. Padahal, amal kasih yang benar adalah berbagi tanpa menghakimi, tanpa menuntut perubahan dari orang lain; bebas dari kepalsuan yang jauh di lubuk hati, dari mencari pujian dan kepuasaan diri akan segala kebaikan yang dilakukannya.
Pengalaman penderitaan Ayub menemukan tanggapan tulus hanya di dalam salib Yesus, tindakan kesetiakawanan Allah yang tertinggi kepada kita, sepenuhnya cuma-cuma, berlimpah belas-kasih. Tanggapan kasih terhadap drama penderitan manusia khususnya penderitaan orang-orang yang tidak bersalah, tetap membekaskan kesan pada tubuh Kristus yang bangkit; luka mulia-Nya adalah skandal bagi iman, tetapi sekaligus juga bukti iman (bdk. Homili untuk kanonisasi Yohanes XXIII dan Yohanes pulus II, 27 April 2014).
Bahkan ketika penyakit, kesepian dan ketidakmampuan membuat kita sulit menjangkau orang-orang lain, pengalaman penderitaan dapat menjadi jalan istimewa untuk menyalurkan berkat dan menjadi sumber untuk memperoleh dan bertumbuh dalam kebijaksanaan hati.
Kita menjadi mengerti bagaimana Ayub, di akhir pengalamannya dapat berkata kepada Tuhan : “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb 42:5). Orang-orang yang tenggelam dalam rasa sakit dan penderitaan ketika menerima hal ini dalam iman, dimampukan menjadi saks-saksi hidup dari iman yang mampu merangkul penderitaan, bahkan meski tanpa mampu mengerti maknanya yang penuh.
6. Saya mempercayakan Hari Orang Sakit Sedunia ini pada perlindungan keibaan Maria, yang mengandung dan melahirkan Sang Kebijaksanaan: Yesus Kristus, Tuhan Kita.
O Maria, Tahta Kebijaksanaan, jadilah perantara, sebagai Bunda kami bagi semua orang sakit dan mereka yang merawatnya! Anugerahkanlah itu, melalui pelayanan kami bagi sesama yang menderita, dan melalui pengalaman penderitaan itu sendiri, semoga kami menerima dan memupuk kebijaksanaan hati yang benar.
Dengan doa ini, untuk Anda semua, saya menyampaikan berkat Apostolik saya.
Dari Vatikan, 3 Desember 2014
Pada peringatan St. Fransiskus Xaverius
Paus Fransiskus
Para Ibu dan Bapak,
Para Suster dan Bruder, Para Imam dan Frater.
Kaum Muda, Remaja dan Anak-Anak yang terkasih dalam Yesus Kristus,
1. Bersama-sama dengan seluruh Gereja, pada hari Rabu yang akan datang kita memasuki masa Prapaskah. Selama masa Prapaskah kita diajak untuk secara khusus menyiapkan diri agar kita masing-masing, keluarga dan komunitas kita dapat mengalami Paskah yang sejati, Paskah yang membaharui kehidupan. Masa Prapaskah adalah masa peziarahan rohani yang akan menjadi semakin bermakna kalau ditandai dengan doa yang tekun dan karya-karya kasih yang tulus. Dengan demikian kita dapat memetik buah-buah penebusan yaitu hidup baru yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita. Hidup baru itu akan membuat kita mampu menjalankan nasehat Rasul Paulus, yaitu agar kita melakukan segala sesuatu hanya demi kemuliaan Tuhan :”Jika engkau makan atau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu demi kemuliaan Allah” (1 Kor 10:31). Kita juga berharap, khususnya melalui olah rohani selama masa Prapaskah ini, kita semakin mencapai “kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef 4:13).
2. Masa Prapaskah tahun ini kita jalani ketika kita merayakan Tahun Syukur Keuskupan Agung Jakarta. Dalam rangka Tahun Syukur itu, semboyan yang ingin kita dalami adalah “Tiada Syukur Tanpa Peduli”. Semboyan ini mencerminkan dinamika hidup beriman kita yang kita harapkan menjadi semakin ekaristis. Dalam perayaan Ekaristi kita mengenangkan Yesus yang “mengambil roti, mengucap syukur, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya”. Dengan demikian jelas bahwa bentuk syukur yang paling sesuai dengan teladan Yesus adalah kerelaan untuk “dipecah-pecah dan dibagikan”, seperti roti ekaristi. Panitia Aksi Puasa Pembangunan Keuskupan Agung Jakarta telah menyiapkan bahan-bahan yang sangat memadai untuk mendalami makna semboyan “Tiada Syukur Tanpa Peduli”. Keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan bersama yang sudah disiapkan pastilah akan memperkaya, meneguhkan dan menjadikan hidup kita pujian bagi Tuhan dan berkat bagi semakin banyak orang. Kalau Anda karena berbagai alasan, tidak mungkin mengikuti pertemuan-pertemuan pendalaman iman bersama-sama, Panitia Aksi Puasa Pembangunan juga sudah menyediakan bahan “Retret Agung Umat : Perjalanan Rohani Menanti Kebangkitan” yang dapat digunakan secara pribadi.
Saudari dan saudaraku yang terkasih,
3. Kisah Injil yang diwartakan pada hari ini (Mrk 1:40-45) mengajak kita untuk belajar dari Yesus dalam mengembangkan sikap peduli.
3.1. Orang kusta yang diceritakan dalam Injil adalah orang yang tersingkir, orang yang dipinggirkan dalam masyarakat. Penyingkiran ini mempunyai sejarah yang panjang. Ada waktunya – sebelum masa pembuangan, ketika Umat Allah Perjanjian Lama masih merdeka – penyingkiran orang kusta melalui peraturan-peraturan keras tidak dikenal. Baru ketika mereka tinggal di pembuangan dan bergaul dengan orang-orang yang mempunyai peraturan-peraturan mengenai orang kusta, mereka mengambil alih peraturan itu dan diterapkan bagi umat. Peraturan itu amat keras, sebagaimana dikatakan dalam Kitab Imamat :”Orang yang sakit kusta harus berpakaian cabik-cabik, dan rambutnya terurai. Ia harus menutupi mukanya sambil berseru-seru : Najis! Najis!” (13:45), supaya orang lain yang berjumpa atau berada dekat dengan dia menyingkir agar tidak ketularan najis.
3.2. Sementara itu secara jasmani orang kusta dapat sembuh. Namun tidak cukup bahwa ia sembuh. Untuk diterima kembali dalam masyarakat dan ikut dalam perayaan suci kesembuhannya harus dinyatakan secara resmi oleh imam (Im 14:2-32). Itulah sebabnya Yesus mengatakan kepada orang yang disembuhkan-Nya untuk memperlihatkan diri kepada imam. Tetapi proses itu tidak mudah : para imam sulit dijumpai – apalagi ketika ibadah dipusatkan di satu tempat – dan syarat-syaratnya pun sulit dipenuhi oleh orang-orang sederhana.
3.3. Dengan demikian lengkaplah penderitaan yang ditanggung oleh orang kusta itu. Melihat orang yang menderita seperti itulah hati Yesus tergerak oleh belas kasihan (Mrk 1:41). Inilah sebentuk kepedulian yang amat nyata. Selanjutnya sesudah orang kusta itu disembuhkan, dikatakan bahwa Yesus “menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras” (ay 43). Apa maksudnya? Salah satu cara baru untuk memahami hal ini ialah dengan memperhatikan keadaan pada waktu itu, sebagaimana sudah disampaikan. Sering para imam yang berwenang menyatakan orang kusta sudah sembuh – dengan demikian dapat diterima kembali ke dalam masyarakat dan ikut serta dalam upacara-upacara suci – , kurang bersedia melakukannya. Yang sebenarnya jelas dan mudah, menjadi sulit. Wajarlah bahwa Yesus kesal dan berkata keras. Ia sangat kecewa karena imam yang seharusnya membantu orang kusta itu untuk mengalami dan mensyukuri kesembuhannya, malahan menghalanginya. Inilah bentuk kepedulian Yesus yang lain.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
4. Orang kusta yang diceritakan dalam Injil adalah wakil dari sekian banyak saudari-saudara kita yang terpinggirkan pada zaman kita sekarang ini. Mereka itu misalnya adalah saudari-saudara kita yang tidak mempunyai Akte Kelahiran atau Kartu Tanda Penduduk, sehingga tidak bisa memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara; saudari-saudara kita yang dicap dengan stigma yang menutup kemungkinan untuk mengembangkan diri; atau yang lebih kasat mata, mereka yang tinggal di jalanan atau di gerobak-gerobak sampah, yang menjadi korban perdagangan manusia, dan mereka yang secara umum bisa disebut direndahkan martabat pribadinya sebagai manusia. Seperti orang kusta dalam Injil mereka juga berseru mohon disembuhkan. Seruan seperti itu, terwakili misalnya dalam seruan seorang remaja putri jalanan yang diberi kesempatan untuk berbicara dengan Paus dalam kunjungannya ke Filipina baru-baru ini. Sesudah menceritakan riwayat hidupnya sebagai anak jalanan, remaja putri itu berkata, “Bapa Suci, mengapa Tuhan membiarkan anak-anak seperti kami ini dibuang oleh orangtua kami, hidup di jalanan, dilecehkan tanpa ada yang membela kami ….”. Anak itu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, hanya menangis keras. Dan Bapa Suci pun tidak tahu harus berkata apa untuk menanggapi jeritan hati anak itu selain dengan mendekapnya.
5. Rupanya kenyataan pinggiran seperti ini ada di mana-mana. Oleh karena itu dalam Seruan Apostolik Sukacita Injil, Paus Fransiskus mengajak kita semua untuk pergi masuk ke tengah-tengah kenyataan pinggiran dalam arti yang seluas-luasnya. Ia menulis, “Sukacitanya dalam mewartakan Yesus Kristus diungkapkan baik dengan kepeduliannya untuk mewartakan-Nya ke wilayah-wilayah yang lebih membutuhkan bantuan maupun dengan senantiasa bergerak keluar ke daerah-daerah pinggiran dari wilayahnya sendiri atau ke lingkungan sosial budaya yang baru” ( No. 30).
6. Kita boleh bersyukur karena di keuskupan kita perutusan untuk pergi ke “pinggiran” semakin dikembangkan secara kreatif. Kita yakin, sekecil apapun yang kita lakukan sebagai bentuk syukur dan kepedulian kita, kita melakukannya dalam usaha kita untuk semakin mengikuti Yesus Kristus, dan tentu saja dalam rangka mewujudkan ajakan Bapa Suci Fransiskus untuk pergi ke pinggiran – dalam arti yang seluas-luasnya. Namun kita tidak boleh berpuas diri, kita dipanggil untuk terus mengusahakan yang lebih lagi.
7. Akhirnya, marilah kita saling mendoakan, agar kita masing-masing, keluarga-keluarga dan komunitas kita serta seluruh umat Keuskupan Agung Jakarta terus berkembang dan menjadi pribadi-pribadi, keluarga dan komunitas yang semakin bersyukur serta peduli. Semoga semangat Gembala Baik Dan Murah Hati, semakin mendorong kita semua untuk semakin kreatif mewujudkan syukur dan kepeduliaan kita. Terima kasih atas berbagai peran Ibu/Bapak/Suster/Bruder/Para Imam dan Frater, kaum muda, remaja serta anak-anak dalam kehidupan Gereja Keuskupan Agung Jakarta yang kita cintai bersama. Berkat Tuhan selalu menyertai kita semua, keluarga-keluarga dan komunitas kita.
+ I. Suharyo
Uskup Keuskupan Agung Jakarta
DOWNLOAD SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2015 USKUP SUHARYO
Akan diadakan peragaan jalan salib dalam bentuk Pantomim yang akan dimainkan oleh Milan Sladek, pemain pantomim dunia kebangsaan Slovakia dan RD TAM Rochadi W sebagai narator.
Acara yang bertema The Way of The Cross akan berlangsung sekitar 80 menit tersebut akan diadakan 2 kali pada hari Kamis dan Jumat, 26 dan 27 Februari 2015 pk. 19.00 di Gereja Kristus Raja – Pejompongan, Jl. Danau Toba 56 Jakarta Pusat.
Tempat terbatas. Undangan dapat diperoleh secara GRATIS dengan menghubungi Yudha 0896.3790.0254 , Yohanes 0878.9829.0009 , Susi 0813.1118.6109 , Lily 0898.2739.081
Siapa cepat, dapat
Terlampir flyernya
Silakan diinformasikan ke paroki masing masing
Berhubung Gratis dan juga peminatnya banyak, tolong ditekankan juga bahwa hanya mereka yang benar benar hadir yang memesannya
Terima kasih, berkah dalem
Dodo
GEMA Paroki Kristus Raja – Pejompongan
www.kristusraja.com
Bioskop-Bioskop JAKARTA, TANGERANG, BEKASI MULAI 5 FEBRUARI 2015 menayangkan film menghormati kehidupan:
NADA UNTUK ASA
“ketika berani hidup adalah sebuah pilihan!”
I. BIOSKOP-BIOSKOP XXI/21
Plaza Senayan XXI
Kasablanka XXI
Metropole XXI
Pluit Village XXI
Puri XXI
Pondok Indah 1 XXI
Pejaten Village XXI
Blok M Square
Citra XXI
Atrium XXI
Gading 21
Gading XXI
Sunter
Cipinang XXI
Arion
Kalibata XXI
Kramat Jati XXI
Cibubur
Cijantung
Tamini
Lotte Bintaro
Summarecon Serpong XXI
Karawaci XXI
Balekota XXI
CBD Ciledug XXI
Plasa Cibubur XXI
Summarecon Bekasi XXI
Mega Bekasi XXI
Metropolitan XXI
Grand Mal XXI
Lippo City Cikarang
II. BIOSKOP-BIOSKOP BLITZ
Mall of Indonesia (MOI)
Pacific Place (PP)
Teraskota BSD
Cyberpark Bekasi
Selamat menonton! Ajaklah keluarga Anda dan teman-teman. Mohon bantuan broadcast info ini ya. Terimakasih.
Official link NADA UNTUK ASA:
web: nadauntukasa.com
Facebook: facebook.com/nadauntukasa
Twitter: twitter.com/nadauntukasa (@nadauntukasa)
Instagram: instagram.com/nadauntukasa
salam
Sahabat Positif! Komsos KAJ
Beberapa waktu yang lalu saya berjumpa dengan seorang Pastor Paroki yang menceritakan kepada saya pengalaman yang menarik. Ia menjumpai seorang muda yang tidak pernah mau berdoa Bapa Kami. Ketika ditanya alasannya, orang muda itu mengatakan bahwa setiap kali ia ingin mengucapkan doa itu, ia merasa mual. Bagi dia mengucapkan doa Bapa Kami hanya mengingatkan dirinya akan peristiwa buruk yang pernah ia alami dengan bapaknya. Pengalaman buruk dengan bapaknya sendiri itu meninggalkan luka batin yang mendalam, sehingga ia tidak mau lagi berdoa Bapa Kami. Pengalaman manusiawi yang buruk, ternyata dapat berpengaruh besar akan gambaran dan pengalaman seseorang akan Allah. Dan pada gilirannya, gambaran dan pengalaman akan Allah tertentu, sadar atau tidak sadar, akan menentukan cara berpikir, sikap dan perilaku seseorang.
Pada tanggal 25 Desember 2005, Paus Benediktus XVI mengeluarkan ensikliknya yang pertama, yang berjudul “Allah adalah Kasih” (=Deus Caritas Est), yang adalah kutipan dari 1 Yoh 4:8.16. Ensiklik ini pertama, bukan hanya dalam arti urutan dalam daftar tulisan Paus Benediktus XVI. Dengan menulis ensiklik ini sebagai yang pertama, bisa dikatakan bahwa Paus ingin memberi perspektif karya pelayanannya dalam Gereja. Paus ingin menempatkan semua yang ia pikirkan, lakukan, putuskan – seluruh karya penggembalaannya – dalam rangka mewartakan bahwa Allah adalah Kasih. Mengapa ini begitu penting? Jawabannya ada dalam pengantar. Di dalamnya antara lain dikatakan, “Dalam dunia, di mana nama Allah kadang-kadang dikaitkan dengan balas dendam atau bahkan kewajiban akan kebencian dan kekerasan, pesan ini amat aktual dan mengena” (No. 1).
Keyakinan iman bahwa Allah adalah Kasih, merupakan buah dari kontemplasi Santo Yohanes yang dinyatakan dalam suratnya yang pertama : “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1 Yoh 4:8.16). Allah inilah yang “lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh 4:19). Rasul Paulus mengatakan hal yang sama dengan cara berbeda. Ia menulis, “…. Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rom 5:8).). Pengalaman akan kasih Allah itu menjadikan mereka pribadi-pribadi yang utuh, matang, kudus. Semoga kita, keluarga dan komunitas kita, dengan menyambut kedatangan Yesus Putera Allah Sang Kasih dalam perayaan Natal, semakin dapat mengalami kasih Allah yang membaharui kehidupan. Salam dan Berkat Tuhan untuk Anda, keluarga dan komunitas Anda. (Mgr. I. Suharyo)
(Tulisan ini pernah dimuat dalam INFO GEMBALA BAIK KAJ Edisi. 11, thn.1, 2012)
Paus Fransiskus menyampaikan bahwa kemerdekaan mengemukakan pendapat senantiasa ada batasnya. Terkait masalah penembakan kantor redaksi majalah Charlie Hebdo, Paus menyampaikan bahwa seorang tak bisa mempermainkan kepercayaan atau keyakinan orang lain.
“Seorang tak bisa memprovokasi, mengejek kepercayaan orang lain, mempermainkan kepercayaan seorang. Tiap-tiap agama mempunyai harga diri. Dalam menjalankan kebebasan untuk mengemukakan pendapat, itu semua ada batas-batasnya, ” kata Paus dalam kunjungannya ke Manila, Filipina, seperti di beritakan NBC News, Kamis, 15 Januari 2015.
Menurut Paus, kemerdekaan menjalankan ibadah dan kepercayaan serta mengemukakan pendapat adalah hak asasi yang paling utama. Hak mengemukakan pendapat secara bebas, menurut Paus, harus diikuti dengan keharusan untuk berbicara tentang hal-hal yang diterima dengan baik oleh orang-orang. Jadi semua kebebasan ada tanggung jawabnya. Jangan merugikan atau menghina masyarakat lain.
Paus mengatakan bahwa orang yang menjalankan hak bebasnya, namun tidak menjalankan kewajiban bertanggung jawabnya itu harus siap “ditonjok” oleh orang yang merasa terhina oleh pendapatnya.
Tetapi tentu saja tindak kekerasan dan terlebih pembunuhan, demikian kata Paus, tak dibenarkan untuk merespons hinaan itu. (Tempo.co dan sumber lainnya)