Pada 20 Februari, dunia memperingati Hari Keadilan Sosial. Dalam kesempatan itu pun Sekretaris Jenderal PBB, Boom Kim-aan menyerukan agar semua umat manusia berupaya mewujudkan keadilan social.
Meskipun bukan dalam rangka memperingati Hari Keadilan Sosial, pada misa novena ke-7 dalam rangka Perayaan 100 Tahun Seminari St. Petrus Canisius Mertoyudan juga mengambil tema “Beriman Untuk Bertindak Adil”. Keadilan sudah menjadi barang yang sangat mahal dewasa ini. Bertindak sebagai konselebran utama dalam misa novena ke-7 adalah Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta.
Dalam kotbahnya Mgr. Suharyo menandaskan bahwa keadilan adalah buah dari keutamaan-keutamaan iman yang berasal dari Yesus sendiri. “Kalau iman layu muncullah kenistaan/ketidakadilan. Karena itu kita perlu mengenal dengan baik siapa Yesus yang menjadi sumber iman kita,” ungkap Mgr. Suharyo.
Lebih jauh Uskup menjelaskan siapa Yesus itu. “Yesus adalah tabib yang menyembuhkan. Ia menyembuhkan orang buta, orang tuli, orang kusta dan macam-macam. Tetapi adalah bagian kedua dari lebar kehidupan Yesus. Sebelumnya Yesus adalah salah satu dari pembaptis setelah dibaptis oleh Yohannes,” lanjut Uskup.
Tetapi mengapa Yesus mau dibaptis oleh Yohannes Pembaptis bukan pembaptis lain? Menurut Mgr. Suharyo ada dua alas an mengapa Yesus mau dibaptis oleh Yohannes. Pertama, karena Yohannes membaptis sebagai tanda pertobatan. “Pertobatan itu berlaku harus dilakukan oleh setiap orang dan tidak mengecualikan para pejabat dan petinggi. Jadi sifatnya inklusif,” jelas Mgr. Suharyo.
Kedua, baptisan Yohannes diikuti oleh persyaratan perubahan hidup. Sementara baptisan yang dilakukan oleh pihak lain hanya sekedar mengikuti ibadat. ”Tak heran banyak yang bertanya kepada Yohannes apa yang harus mereka lakukan setelah dibaptis. Kepada pemungut pajak Yohannes mengatakan jangan menarik pajak lebih dari yang diharuskan. Kepada prajurit Yohannes mengatakan jangan memeras.”
Menurut Mgr. Suharyo, kegiatan membaptis pun sempat juga dilakukan oleh Yesus. ”Lihatlah, orang yang engkau baptis dahulu (baca : Yesus), sekarang telah membaptis di seberang sana dan orang berbondong-bondong mengikutinya,” ungkap murid Yohannes kepadanya.
Namun, kegiatan membaptis ini tidak lama diemban oleh Yesus. Pada lembaran kedua kehidupanNya, Yesus justeru lebih mewartakan Kerajaan Allah dengan mengadakan penyembuhan. Hal ini Dia tempuh karena melihat kondisi masyarakat Israel saat itu yang sangat memprihatinkan. ”Dimana-mana terjadi ketidak adilan. Rakyat menderita dan miskin karena sistim yang berlaku. Dia hendak menerjang ketidak adilan itu,” jelas Mgr. Suharyo.
Rakyat miskin karena harta mereka dirampas oleh serdadu Romawi. ”Agama pun ikut menindas rakyat. Rakyat miskin disebut karena Allah tidak mencintai mereka. Orang penyakitan, bisu-tuli atau kusta karena Allah mengutuk mereka. Situasi inilah yang menggerakkan Yesus untuk meujudkan keadilan,” lanjut Uskup.
Terutama hal itu dilihat Yesus ketika orang miskin menyumbangkan semua uangnya di bait Allah. Sementara para polisi bait Allah selalu mencari-cari cacat hewan kurban yang dibawa umat untuk dipersembahkan (disembelih) sehingga terpaksa mengganti dengan hewan kurban yang diperdagangkan di halaman bait Allah itu. ”Disini harga menjadi sangat mahal. Artinya bait Allah hanya monopoli orang yang mampu membeli hewan kurban yang super mahal itu. Kondisi inilah yang membuat Yesus sangat marah dan mengusir para pedagang itu,” ungkap Mgr. Suharyo.
Di lain pihak ini pula yang menjadi awal ketidak senangan banyak pihak terutama para pemimpin dan pemuka agama yang kehilangan pendapatan. Inilah yang mengancam hidup Yesus, tetapi, lanjut Uskup, Yesus tidak takut dia tegar untuk menampilkan wajah Allah. ”Umat berdosa tetapi diampuni. Ketidakadilan dijawab dengan cinta kasih. Jadi Yesus tidak berhenti pada mencari kebenaran saja tetapi diikuti dengan pengampunan. Demikian juga keadilan dicari tetapi tidak hanya berhenti pada mencari keadilan melainkan diikuti dengan cinta kasih.
Mgr. Suharyo pun menceritakan contoh kongkrit mengnai mencari kebenaran dan keadilan tetapi tidak berhenti disitu saja melainkan dilanjutkan dengan pengampunan dan kasih. ”Kisah ini luput dari pemberitaan media massa. Di kota Prabumulih, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu ada pengadilan terhadap seorang nenek yang diajukan ke pengadilan karena mencuri ketela sebuah perusahaan besar,” ungkap Uskup.
Rupanya sang nenek mencuri ketela dari perkebunan sebuah perusahaan besar dan ketahuan. Padahal si nenek terpaksa mencuri ketela itu karena anaknya sakit dan cucunya kelaparan.
Oleh sang direktur perusahaan si nenek ditangkap dan dibawa ke polisi dan akhirnya disidang di pengadilan. Oleh jaksa penuntut umum si nenek didakwa bersalah dan harus dihukum untuk memberi pelajaran bagi orang lain juga. Si nenek dituntut penjara tiga bulan atau bayar denda Rp1 juta.
Sang hakim pun akhirnya memutuskan si nenek dihukum sesuai tuntutan jaksa. Tetapi hakim tidak berhenti disitu. ”Karena kita telah membiarkan nenek ini kelaparan maka kita pun dihukum Rp50.000 per orang,” tegas hakim. Sang hakim melepas toganya dan memasukkan uang Rp1 juta ke bentangan toga itu. Kemudian dia menyuruh panitera untuk mengumpulkan denda dari semua pengunjung yang ada di ruang sidang ke dalam bentangan toga sang hakim termasuk dari direktur perusahaan dan para jaksa penuntut. Setelah dihitung uang terkumpul sebesar Rp3,5 juta. Kemudian Rp1 juta dibayarkan sebagai hukuman bagi sang nenek dan sisianya Rp2,5 juta diberikan kepada sang nenek.
”Semoga dalam menegakkan keadilan kita tidak berhenti hanya sekedar mencari kebenaran dan keadilan, melainkan harus dilanjutkan dengan pengampunan dan kasih. Kasih dan pengampunan adalah juga inti iman kita. Hanya dengan demikianlah keadilan sosial akan bisa terujud,” tandas Mgr. Suharyo. Selamat meujudkan keadilan sosial…!
Paroki Kemanggisan- Maria Bunda Karmel:
pk. 05.30, 19.00 WIB (Di Gereja dan Auditorium)
Stasi Taman Anggrek – St. Fransiskus Assisi:
Pk. 20.00
Lingkungan Mediterania – St. Laurensius:
Pk. 20.00
Paroki Kranji- St. Mikael:
Stasi Harapan Indah- St. Albertus:
Pk. 06.00, 19.00 WIB
Paroki Mangga Besar- St. Petrus & Paulus:
pk. 05.45, 12.00, 18.00, 20.00
Paroki Pasar Minggu- Keluarga Kudus:
pk. 06.00, 18.00, 20.00
Paroki Rawamangun- Keluarga Kudus:
pk. 05.45, 18.30 WIB
Paroki Slipi- Kristus Salvator:
Pk. 06.00, 11.30, 17.00, 20.00
Paroki Tebet- St. Fransiskus Assisi:
Pk. 06.00, 08.00, 12.00, 18.30
Paroki Serpong- St. Monika:
Pk. 06.00, 17.00, 19.30 WIB
Paroki Sunter- St. Lukas:
Pk. 05.00, 07.00, 17.00, 20.00
Paroki Tangerang- Hati St. Perawan Maria Tak Bernoda:
Pk. 06.00, 17.00, 19.30 WIB
Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih dalam Kristus,
1. Bersama-sama dengan seluruh Gereja, pada hari Rabu yang akan datang kita memasuki masa Prapaskah. Rasanya pada tahun ini masa Prapaskah tiba amat cepat. Masa Natal yang lalu juga terasa amat singkat, lebih singkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkinkah ini merupakan isyarat bagi kita semua, untuk membaharui semangat dan gaya hidup kita : dari semangat dan gaya hidup yang ditandai pesta-pesta (=masa Natal yang pendek) menuju semangat dan gaya hidup yang semakin terlibat, berbelarasa dan rela bermati raga (=masa Prapaska yang cepat tiba) demi sekian banyak saudari-saudara kita sebangsa setanah air yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir? Saudari-saudara kita ini karena berbagai macam alasan terpaksa hidup tidak sesuai dengan martabatnya sebagai pribadi manusia, citra Allah. Suatu pertanyaan yang menantang kita semua sebagai murid-murid Yesus Kristus untuk kita jawab secara pribadi, dalam keluarga, komunitas dan bersama-sama sebagai warga Keuskupan Agung Jakarta.
2. Melalui nabi Yesaya Tuhan bersabda, “Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh … Umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemasyhuran-Ku” (Yes 43:19.20). Sabda ini ditujukan kepada umat Allah Perjanjian Lama yang berada dalam pembuangan. Mereka berada jauh dari tanah air mereka, sangat menderita lahir batin. Dalam keadaan terbuang, sebagian dari mereka berpikir tidak ada gunanya percaya kepada Tuhan karena ternyata Dia tidak bisa membela umat-Nya terhadap musuh yang telah mengalahkan mereka. Selain itu tidak sedikit dari antara mereka yang merasa dosa mereka terhadap Tuhan sudah terlalu besar, sehingga Tuhan tidak akan memberikan kesempatan baru lagi. Namun dalam perjalanan waktu ternyata banyak dari antara mereka yang berhasil merebut kedudukan dalam kehidupan politik, sosial maupun ekonomi. Keberhasilan ini membuat mereka lupa atau tidak mau mengingat lagi bahwa mereka adalah umat terpilih yang seharusnya hidup berdasarkan janji Allah. Secara sederhana bisa dikatakan, ketika mereka mempunyai segala-galanya, mereka kehilangan jati diri dan cita-cita sebagai umat terpilih.
3. Namun tidak semua warga Umat Allah Perjanjian Lama seperti itu. Dari antara mereka ada sekelompok kecil yang bertahan, dan kendati menderita, iman mereka tidak goyah. Dengan sengaja mereka tidak mengejar keberhasilan lahiriah di tanah pembuangan. Mereka terus membangun hidup di atas dasar janji-janji Allah. Mereka inilah yang disebut “sisa Israel”. Kelompok ini mempunyai sejarah yang panjang. Ketika umat Allah Perjanjian lama berpaling dari Tuhan dan menyembah berhala, mereka tetap setia (1 Raj 19:10.14.18). Ketika mereka diijinkan kembali dari pembuangan – sementara sebagian besar tidak mau menggunakan kesempatan ini karena sudah nyaman tinggal di negeri asing – mereka kembali ke tanah terjanji untuk membangun kembali masa depan mereka di atas puing-puing kehancuran. Kelompok mereka kecil – maka disebut “sisa Israel” – namun mereka yakin bahwa jati diri mereka sebagai umat yang dipanggil secara istimewa oleh Allah, tidak terletak pada penampilan lahiriah, melainkan pada cita-cita dan harapan yang mereka sandarkan pada janji Allah. Mereka ini bagaikan tunggul dan sebagaimana dikatakan oleh Nabi Yesaya, “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah” (11:1; 53:2). Mereka inilah yang akan menghidupkan kembali harapan baru yang oleh nabi Yesaya disebut dengan kiasan sebagai “jalan di padang gurun … sungai-sungai di padang belantara” (43:19). Mereka ini pulalah yang disebut umat yang “Kubentuk bagi-Ku yang akan memberitakan kemasyhuran-Ku” (Yes 43:21). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma Rasul Paulus menegaskan keberadaan kelompok ini : “Demikian juga pada waktu ini ada tinggal satu sisa, menurut pilihan kasih karunia” (11:5). Dalam bahasa sehari-hari kita sekarang, mereka disebut “komunitas kontras” atau “komunitas alternatif”.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
4. Sebagai murid-murid Kristus, sebagai warga Gereja Katolik, kita pun mempunyai jati diri yang sangat istimewa dan khusus. Jati diri kita adalah Ekaristi, yang kita imani sebagai sumber dan puncak hidup Kristiani (bdk LG 11). Maksudnya, sebagaimana roti Ekaristi diambil, diberkati, dipecah-pecah dan dibagi-bagi, kita pun adalah pribadi-pribadi yang dipilih oleh Allah, diberkati agar dapat dipecah-pecah yang dibagi-bagi bagi dunia. Inilah jati diri kita. Atas dasar keyakinan inilah dirumuskan tema Aksi Puasa Pembangunan Keuskupan Agung Jakarta 2012 : “Dipersatukan Dalam Ekaristi – Diutus Untuk Berbagi”. Dengan pedoman tema Aksi Puasa Pembangunan ini, kita bersama-sama ingin mewujudkan atau mengaktualisasikan jati diri kita.
5. Perayaan Ekaristi terdiri dari empat bagian. Bagian pembuka mengajak kita menyadari bahwa kita adalah bagian dari umat manusia yang terpecah-pecah karena dosa. Maka kita mengawali Perayaan Ekaristi dengan mengakui dosa-dosa kita – bukan hanya dosa pribadi kita, melainkan juga dosa umat manusia. Ibadat Sabda memberi kesempatan penuh rahmat kepada kita yang berhimpun untuk membaca dan mengartikan keadaan hidup kita itu dalam terang Sabda Allah. Sabda Allah yang kita dengarkan bukanlah sekedar informasi yang diteruskan (=informatif), melainkan kekuatan yang membangun dan mempersatukan (=formatif dan transformatif). Dengan memasuki Liturgi Ekaristi, kita diikutsertakan dalam karya penyelamatan Allah yang memulihkan segala sesuatu dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Bagian ini bermuara pada komuni – dari kata communio yang secara harafiah berarti persatuan. Itulah buah utama karya penyelamatan Allah, yaitu bahwa kita dipersatukan kembali : yang bermusuhan didamaikan; yang tercerai berai dikumpulkan; yang terpisah dihimpun kembali. Setelah dipulihkan dan dipersatukan, menyusul perutusan, yang merupakan bagian terakhir dari Perayaan Ekaristi. Kita diutus untuk berbagi kehidupan.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
6. Bersama-sama dengan para imam, saya pribadi sangat bersyukur karena boleh melayani umat Keuskupan Agung Jakarta ini. Amat sangat banyak kisah mengenai kerelaan berbagi dan kemurahan hati umat Keuskupan Agung Jakarta dalam berbagai wujudnya : baik yang ditulis maupun tidak ditulis, baik yang diceritakan ataupun tidak diceritakan, baik yang ditujukan kepada umat sendiri ataupun masyarakat yang lebih luas, baik untuk keperluan-keperluan di Keuskupan Agung Jakarta sendiri maupun bagi wilayah-wilayah gerejawi yang lain yang tersebar di seluruh nusantara, baik yang dijalankan bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Peranan para Ibu/Bapak/Suster/Bruder/Frater/adik-adik kaum muda, anak-anak dan remaja dalam hal ini ikut menentukan wajah Gereja Keuskupan Agung Jakarta : Gereja yang memancarkan kasih, kebaikan dan kemurahan hati Allah. Terima kasih tak terhingga atas kebaikan, kemurahan hati dan kerelaan Anda sekalian untuk berbagi kehidupan.
7. Sementara itu kita semua tahu bahwa peran seperti ini tidak akan pernah selesai kita jalankan dan menantang kita semua untuk semakin kreatif mencari bersama-sama bentuk-bentuknya yang baru. Semoga semangat Ekaristi yang kita gali dan dalami selama Tahun Ekaristi ini memberikan inspirasi dan kekuatan kepada kita semua untuk membangun jati diri kita sebagai “komunitas Ekaristis”, “komunitas alternatif” atau “komunitas kontras” yang terus berkembang karena dipersatukan dalam Ekaristi dan diutus untuk berbagi. Semoga dengan demikian kita sungguh menjadi umat yang selalu memberitakan kebaikan dan kasih Allah (bdk.Yes 43:21). Semoga berkat kekuatan Allah kita berkembang dalam kemurahan hati dan kerelaan berbagi yang – siapa tahu – membuat orang lain akan berkata, “Yang begini belum pernah kita lihat” (Mrk 2:12). Salam dan semoga Anda semua, keluarga-keluarga dan komunitas Anda selalu dilimpahi berkat, perlindungan dan damai sejahtera.
Catatan: Berikut ini adalah terjemahan tidak resmi (unofficial translation) pesanBapa Suci Benediktus XVI untuk masa prapaskah 2012, yang diterjemahkan oleh katolisitas.org dari dokumen aslinya dalam Bahasa Inggris, seperti yang tertulis di sini –silakan klik. Mohon agar pengutipan terjemahan ini dapat menyertakan sumbernya, yaitu: www.katolisitas.org, sehingga usulan atau masukan dapat disampaikan kepada kami.
PESAN BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI UNTUK MASA PRAPASKAH 2012
“Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik“ (Ibr 10:24).
Saudara dan saudari yang terkasih,
Masa Prapaskah sekali lagi memberikan kepada kita sebuah kesempatan untuk merenungkan inti terdalam dari kehidupan seorang Kristen, yaitu: perbuatan amal kasih. Ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaharui perjalanan iman kita, baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian dari komunitas, dengan bimbingan Sabda Tuhan dan sakramen-sakramen Gereja. Perjalanan ini adalah perjalanan yang ditandai dengan doa dan berbagi, hening dan berpuasa, sebagai antisipasi menyambut sukacita Paskah.
Tahun ini saya ingin mengajukan beberapa pemikiran dalam terang ayat-ayat Kitab Suci yang diambil dari Surat kepada umat Ibrani: “Dan marilah kita kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”. Kata-kata ini adalah bagian dari perikop di mana sang penulis surat yang kudus menghimbau kita untuk menaruh kepercayaan di dalam Yesus Kristus sebagai Imam Agung yang telah memenangkan pengampunan Allah bagi kita dan membuka jalan kepada Tuhan. Mengimani Kristus membuat kita mampu menghasilkan buah di dalam hidup yang ditopang oleh tiga kebaijkan teologis: hal itu berarti menghampiri Tuhan “dengan hati tulus dan penuh iman (ay.22), tetap “teguh dalam harapan yang kita nyatakan” (ay.23) dan senantiasa berusaha untuk menjalani hidup yang dibangun di atas “cinta kasih dan pekerjaan-pekerjaan baik” (ay.24), bersama dengan saudara dan saudari kita. Sang penulis surat tersebut menyatakan bahwa untuk mempertahankan hidup yang dibentuk oleh Injil, adalah penting untuk berpartisipasi secara aktif dalam liturgi dan doa bersama komunitas, dengan mengingat akan tujuan eskatologis untuk bersatu secara penuh dengan Tuhan (ay.25). Di sini saya ingin membuat refleksi atas ayat 24, yang memberikan pengajaran yang ringkas, bernilai, dan tepat di segala zaman, atas tiga aspek hidup Kristiani, yaitu: kepedulian kepada sesama, kasih timbal balik, dan kekudusan pribadi.
1. “Dan marilah kita saling memperhatikan..” : tanggung jawab terhadap para saudara dan saudari kita.
Aspek pertama adalah sebuah undangan untuk “peduli” : kata kerja bahasa Yunani yang dipakai di sini adalah katanoein, yang artinya adalah untuk memeriksa (menyelidiki), untuk menaruh perhatian, untuk mengamati dengan seksama dan percaya akan sesuatu. Kita menjumpai kata ini di dalam Injil ketika Yesus mengundang para murid untuk “memperhatikan” burung-burung gagak, yang tanpa bekerja keras, berada di tengah perhatian dan pemeliharaan Penyelenggaraan Ilahi (bdk. Luk 12:24) dan untuk “memeriksa” balok di dalam mata kita sendiri sebelum mengeluarkan selumbar dari mata saudara kita (bdk. Luk 6:41). Di dalam ayat yang lain dari Surat kepada orang-orang Ibrani, kita menemukan ajakan untuk “mengarahkan pikiranmu kepada Yesus” (3:1), Rasul dan Imam Besar dari iman kita. Maka kata kerja yang mengantar pengajaran kita mengatakan kepada kita untuk memperhatikan sesama, pertama-tama kepada Yesus, untuk saling memperhatikan satu sama lain, dan tidak tinggal dalam keterasingan serta sikap acuh tak acuh kepada keadaan sesama kita. Namun demikian, terlalu sering sikap yang kita tunjukkan justru sebaliknya: yaitu pengabaian dan keacuhan yang lahir dari keegoisan yang disamarkan sebagai tindakan menghargai “privasi”. Saat ini pun, suara Tuhan meminta kita semua untuk saling memperhatikan satu sama lain. Bahkan hari ini, Tuhan meminta kita untuk menjadi “penjaga” saudara dan saudari kita (Kej 4:9), untuk membangun suatu relasi yang didasarkan atas kepedulian satu sama lain dan perhatian kepada kesejahteraan integral jasmani dan rohani dari sesama kita. Perintah yang utama untuk mengasihi satu sama lain menuntut kita untuk mengenali tanggung jawab kita kepada sesama yang, sebagaimana halnya kita sendiri, adalah ciptaan dan anak-anak Tuhan sendiri. Menjadi saudara dan saudari dalam kemanusiaan dan, dalam banyak hal, juga dalam iman, selayaknya menolong kita untuk mengenali di dalam diri sesama kita, sebuah kebalikan dari diri kita (alter ego), yang dicintai tanpa batas oleh Tuhan. Jika kita menanamkan pada diri kita cara ini yang memandang sesama sebagai saudara dan saudari kita, maka solidaritas, keadilan, belas kasihan dan bela rasa akan secara alamiah berkembang di dalam hati kita. Sang Pelayan Tuhan Paus Paulus VI pernah menyatakan bahwa dunia saat ini menderita terutama karena kurangnya persaudaraan: “Kebudayaan umat manusia sedang sangat sakit. Penyebabnya bukanlah karena berkurangnya sumber-sumber daya alam, dan bukan juga karena kontrol monopoli dari segelintir orang: melainkan lebih karena melemahnya ikatan persaudaraan di antara pribadi-pribadi dan di antara bangsa-bangsa (Populorum Progressio, 66).
Kepedulian kepada sesama berkaitan juga dengan menginginkan segala yang baik untuk mereka dari setiap sudut pandang: baik fisik, moral, maupun spiritual. Budaya kontemporer nampaknya telah kehilangan naluri untuk membedakan yang baik dari yang jahat, namun disadari tetap ada suatu kebutuhan yang nyata untuk menyatakan kembali bahwa kebaikan itu ada dan akan mengatasi [yang jahat], karena Allah “baik dan berbuat baik” (Mzm 119:68). Kebaikan adalah segala sesuatu yang bersifat memberi, melindungi, dan menjunjung tinggi kehidupan, persaudaraan, dan persekututuan. Maka tanggung jawab kepada sesama berarti menginginkan dan mengusahakan kebaikan sesama, dalam harapan bahwa mereka pun menjadi mudah menerima kebaikan dan tuntutan- tuntutannya. Peduli kepada sesama berarti menjadi peka akan kebutuhan-kebutuhan mereka. Injil Suci memperingatkan kita akan bahaya bahwa hati kita dapat menjadi keras karena “ketidaksadaran spiritual”, yang membuat kita tidak peka dan mati rasa terhadap penderitaan sesama. Penulis Injil Lukas mengaitkan dua perumpaan Yesus dengan membuat contoh. Di dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati, sang imam dan sang orang Lewi lewat begitu saja, tidak peduli akan keberadaan seseorang yang dirampok dan dipukuli oleh para perampok (bdk. Luk 10:30-32). Dalam kisah perumpamaan Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin, si orang kaya tidak peduli pada kemiskinan Lazarus, yang sedang kelaparan hingga sekarat di depan pintu rumahnya yang ada di depan matanya (bdk. Luk 16:19). Kedua perumpamaan tersebut menunjukkan contoh-contoh kebalikan dari “menjadi peduli”, yaitu sikap menaruh perhatian kepada sesama dengan penuh cinta dan belas kasihan. Apa yang menghalangi pandangan kemanusiaan dan penuh cinta kepada saudara dan saudari kita ini? Seringkali, penyebabnya adalah kepemilikan kekayaan materi dan perasaan berkecukupan akan segala sesuatu, namun bisa juga penyebabnya adalah kecenderungan untuk meletakkan segala kepentingan/ keinginan, dan masalah kita sendiri di atas semua yang lain. Kita tak pernah boleh gagal untuk “menunjukkan belas kasihan” kepada mereka yang menderita. Hati kita tak pernah boleh terlalu terbungkus rapat oleh urusan-urusan dan masalah-masalah kita sehingga hati kita tak mampu mendengar jeritan kaum miskin. Kerendahan hati dan pengalaman pribadi akan penderitaan dapat membangkitkan dalam diri kita, suatu naluri belas kasihan dan empati. “Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak memahaminya” (Ams 29:7). Kita kemudian dapat memahami sikap dari “mereka yang meratap” (Mat 5:5), mereka yang mampu melihat melampaui diri sendiri dan merasakan belas kasihan terhadap penderitaan orang lain. Menjangkau orang lain dan membuka hati kita kepada kebutuhan-kebutuhan mereka dapat menjadi sebuah kesempatan bagi keselamatan dan keadaan terberkati.
“Menjadi peduli satu sama lain” juga mengikutsertakan sikap menaruh perhatian pada kesejahteraan jasmani dan rohani satu sama lain. Di sini saya ingin menyebutkan sebuah aspek hidup Kristiani, yang saya percaya telah cukup terlupakan selama ini: koreksi persaudaraan dalam pandangan keselamatan abadi. Dewasa ini, secara umum, kita menjadi sangat peka kepada gagasan perbuatan amal kasih dan kepedulian kepada kesejahteraan fisik dan materi dari sesama, namun hampir sepenuhnya diam mengenai tanggung jawab spiritual kita kepada saudara dan saudari kita. Hal ini tidak menjadi persoalan di dalam jemaat Gereja perdana atau di dalam komunitas yang telah sangat dewasa dalam iman, [yaitu] mereka yang peduli tidak hanya terhadap kesehatan fisik sesama mereka, tetapi juga terhadap kesehatan spiritual dan kehidupan kekal mereka. Kitab Suci berkata kepada kita: “Janganlah mengecam seorang pencemooh, supaya engkau jangan dibencinya, kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya” (Ams 9:8). Kristus sendiri memerintahkan kita untuk menasehati saudara kita yang berbuat dosa (bdk. Mat 18:15). Kata yang dipergunakan untuk mengekpresikan koreksi persaudaraan – elenchein – adalah sama seperti yang biasa digunakan untuk menunjukkan misi kenabian dari orang-orang Kristen untuk menentang generasi yang mengikuti kejahatan (bdk. Ef 5:11). Tradisi Gereja juga memasukkan “memberi nasehat kepada para pendosa” di antara karya-karya karitatif rohani (belas kasihan secara rohani). Adalah penting untuk mengembalikan dimensi ini dari perbuatan amal kasih Kristiani. Kita tidak boleh tinggal diam dalam menghadapi kejahatan. Saya berpikir tentang semua umat Kristen itu yang, karena pertimbangan manusiawi atau semata-mata karena pertimbangan kenyamanan pribadi, memilih berkompromi dengan mentalitas yang umum, daripada mengingatkan saudara dan saudarinya terhadap cara berpikir dan bertindak yang bertentangan dengan kebenaran dan yang tidak mengikuti jalan kebaikan. Menasehati secara Kristiani, tidak pernah dimotivasi oleh semangat menuduh atau menuntut balas, melainkan selalu digerakkan oleh cinta dan belas kasihan, dan tumbuh dari kepedulian yang tulus, demi kebaikan orang lain. Sebagaimana Rasul Paulus mengatakan:”Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” (Gal 6:1). Di dalam dunia yang diliputi oleh semangat individualisme, adalah esensial untuk menemukan kembali pentingnya koreksi persaudaraan, sehingga bersama-sama kita dapat berjalan menuju kekudusan. Kitab Suci mengatakan pada kita bahwa bahkan “tujuh kali orang benar jatuh” (Ams 24:16); semua dari kita adalah lemah dan tak sempurna (bdk. 1 Yoh 1:8). Maka, adalah suatu bentuk pelayanan yang amat berarti, untuk membantu sesama kita, dan mengizinkan mereka membantu kita, sehingga kita dapat terbuka terhadap seluruh kebenaran mengenai diri kita, memperbaiki diri kita dan berjalan dengan lebih setia di jalan Tuhan. Selalu akan ada kebutuhan terhadap sebuah pandangan yang penuh kasih dan mengingatkan, yang mengetahui dan memahami, yang membedakan secara bijak dan mengampuni (bdk. Luk 22:61), sebagaimana yang Tuhan telah kerjakan dan masih akan terus mengerjakannya di dalam diri kita masing- masing.
2. “Saling memperhatikan satu sama lain”: sebuah karunia kasih timbal balik”
Panggilan untuk “menjaga” sesama kita adalah berkebalikan dengan mentalitas yang, dengan mengurangi nilai hidup hanya kepada dimensi duniawinya saja, gagal untuk melihatnya dalam perspektif eskatologis dan menerima sembarang pilihan moral apapun atas nama kebebasan pribadi. Masyarakat seperti masyarakat kita dapat menjadi buta terhadap penderitaan fisik dan tuntutan spiritual dan moral kehidupan. Hal ini tak boleh terjadi dalam komunitas Kristiani! Rasul Paulus mendorong kita untuk mengejar “apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun” (Rom 14:19) demi kebaikan sesama, “untuk mendukung satu sama lain” (Rom 15:2), mencari bukan keuntungan pribadi melainkan lebih kepada “kebaikan setiap orang yang lain, sehingga mereka dapat diselamatkan” (1Kor 10:33). Koreksi yang saling membangun, dukungan dalam semangat kerendahan hati, dan perbuatan amal kasih harus menjadi bagian dari kehidupan komunitas Kristiani.
Murid-murid Tuhan, dipersatukan dengan Dia melalui Ekaristi, hidup dalam persaudaraan yang menyatukan mereka satu dengan yang lain sebagai anggota-anggota dari satu tubuh. Hal ini berarti bahwa sesama adalah bagian dari diriku, dan bahwa hidupnya, keselamatannya, berkaitan dengan hidup dan keselamatanku sendiri. Di sini kita menyentuh aspek yang mendasar dari persekutuan: keberadaan kita berkaitan erat dengan keberadaan orang lain, baik dalam suka maupun duka. Baik dosa-dosa kita maupun perbuatan-perbuatan kasih kita, sama-sama mempunyai dimensi sosial. Hubungan kasih timbal balik ini nampak di dalam Gereja, tubuh mistik Kristus: komunitas tersebut senantiasa melakukan pertobatan, dan memohon pengampunan atas dosa-dosa anggotanya, namun juga tak pernah gagal untuk bersukacita dalam teladan-teladan kebajikan dan perbuatan amal kasih yang hadir di tengah-tengahnya. Sebagaimana St. Paulus berkata: “supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan (1 Kor 12:25), sebab kita semua adalah anggota dari satu tubuh. Perbuatan amal kasih kepada saudara dan saudari kita – sebagaimana dinyatakan dalam pemberian derma, sebuah perbuatan yang diiringi dengan doa dan puasa, adalah perbuatan yang menjadi ciri khas masa Prapaskah – berakar dari kepemilikan bersama. Umat Kristiani juga dapat menyatakan keanggotaannya di dalam satu tubuh yang adalah Gereja melalui kepedulian yang konkrit bagi mereka yang paling miskin dari yang miskin. Kepedulian kepada satu sama lain juga berarti mengakui kebaikan yang sedang dikerjakan Tuhan dalam diri sesama dan menaikkan ucapan syukur atas keajaiban rahmat di mana Allah Yang Maha Besar di dalam segala kebaikan-Nya terus menerus menggenapinya di dalam diri anak-anak-Nya. Ketika umat Kristen memandang bahwa Roh Kudus sedang terus bekerja di dalam diri sesama, mereka tidak dapat berbuat yang lain selain bersukacita dan memuliakan Allah Bapa di surga (bdk. Mat
5:16).
3. “Supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”: berjalan bersama dalam kekudusan.
Kata-kata dari Surat kepada orang Ibrani ini (10:24) mendorong kita untuk merefleksikan panggilan universal kepada kekudusan, sebuah perjalanan yang terus menerus dari kehidupan spiritual sebagaimana kita mengusahakan untuk memperoleh karunia-karunia spiritual yang lebih utama dan kepada perbuatan amal kasih yang lebih bermakna dan berhasil guna (bdk. 1 Kor 12:31-13:13). Menjadi peduli satu sama lain selayaknya menggerakkan kita kepada kasih yang bertambah dan lebih efektif di mana, “seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari” (Ams 4:18), membuat kita hidup setiap hari sebagai antisipasi akan datangnya hidup kekal yang menantikan kita di dalam Tuhan. Waktu yang dikaruniakan kepada kita dalam hidup ini adalah berharga untuk menilai secara bijaksana dan menampilkan perbuatan-perbuatan yang baik dalam cinta kasih kepada Tuhan. Dengan cara ini, Gereja sendiri senantiasa tumbuh kepada kedewasaan penuh di dalam Kristus
(bdk. Ef 4:13). Ajakan kita untuk mendorong satu sama lain untuk meraih kepenuhan cinta dan perbuatan baik berada di dalam prospek pertumbuhan yang dinamis ini.
Sayangnya, senantiasa ada godaan untuk menjadi suam-suam kuku, untuk memadamkan Roh, untuk menolak menanamkan berbagai talenta yang telah kita terima, demi kebaikan kita sendiri dan kebaikan sesama kita (lih. Mat 25:25–). Semua dari kita telah menerima kekayaan spiritual atau material yang dimaksudkan untuk digunakan bagi kepenuhan rencana Allah, demi kebaikan Gereja dan demi keselamatan kita sendiri (bdk. Luk 12:21b; 1 Tim 6:18). Pakar-pakar rohani mengingatkan kita, bahwa dalam kehidupan beriman, mereka yang tidak bertumbuh akan dengan sendirinya mengalami kemunduran. Saudara dan saudari yang terkasih, marilah kita menerima undangan ini, hari ini, seperti tak ada waktu lain yang lebih baik, untuk menuju ke “standar yang tinggi dari kehidupan Kristiani” (Novo Millennio Ineunte, 31). Kebijaksanaan Gereja dalam mengenali dan memproklamasikan orang-orang Kristen tertentu yang luar biasa sebagai Yang Terberkati dan para Santo/a juga dimaksudkan untuk menginspirasi sesama agar mencontoh kebajikan mereka. Santo Paulus menghimbau kita untuk “saling mendahului dalam memberi hormat” (Rom 12:10).
Dalam dunia yang menuntut dari umat Kristen sebuah kesaksian yang diperbaharui akan cinta dan kesetiaan kepada Tuhan, kiranya kita semua merasakan kebutuhan yang mendesak untuk saling mendahului dalam berbuat amal kasih, pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan baik (bdk. Ibr 6:10). Permohonan ini terutama ditekankan dalam bulan yang suci ini sebagai persiapan Paskah. Sebagaimana saya menaikkan harapan-harapan yang baik dalam doa-doa saya demi masa Prapaskah yang penuh berkat dan menghasilkan banyak buah, saya mempercayakan Anda semua dalam perantaraan doa Bunda Maria Tetap Perawan dan dengan penuh kehangatan saya memberikan Berkat Apostolik saya.
Dari Vatikan, 3 November 2011
Bapa Paus Benediktus XVI
Diambil dari www.katolisitas.org
TEMA: “DIPERSATUKAN DALAM EKARISTI, DIUTUS UNTUK BERBAGI”
Masa Prapaskah/Waktu Puasa Tahun 2012 dimulai pada hari Rabu Abu, 22 Februari sampai dengan hari Sabtu, 7 April 2012.
“Semua orang beriman kristiani menurut cara masing-masing wajib melakukan tobat demi hukum ilahi’ (KHK k.1249). Dalam masa tobat ini Gereja mengajak umatnya “secara khusus meluangkan waktu untuk berdoa, menjalankan ibadat dan karya amalkasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang”(ibid). Semua umat beriman diajak untuk memelihara suasana tobat dan mengisi masa tobat ini dengan berbagai keutamaan hidup beriman dan tidak mudah terpengaruh atau mengikuti suasana lain di luar suasana khusus gerejani ini.
Di samping itu sebagai tanda pertobatan dan syukur, Gereja minta supaya kita semua memberi perhatian dan mengarahkan hidup kita dengan bantuan beberapa hal beriktu ini:
Dalam Masa Prapaskah kita diwajibkan:
– Berpantang dan berpuasa pada hari Rabu, 22 Februari dan hari Jumat Suci, 6 April 2012. Pada hari Jumat lain-lainnya dalam Masa Prapaskah hanya berpantang saja.
– Yang diwajibkan berpuasa menurut Hukum Gereja yang baru adalah semua yang sudah dewasa sampai awal tahun ke enam puluh (KHK k.1252). Yang disebut dewasa adalah orang yang genap berumur delapanbelas tahun (KHK k.97 §1).
– Puasa artinya: makan kenyang satu kali sehari.
– Yang diwajibkan berpantang: semua yang sudah berumur 14 tahun ke atas (KHK k.1252).
– Pantang yang dimaksud di sini: tiap keluarga atau kelompok atau perorangan memilih dan menentukan sendiri, misalnya: pantang daging, pantang garam, pantang jajan, pantang rokok.
Kita semua diajak untuk terus memberi perhatian kepada saudara-saudara kita yang berkekurangan dengan cara berbagi untuk mereka. Saat ini kita sedang hidup dalam keprihatinan rusaknya lingkungan hidup. Oleh sebab itu dalam masa Prapaskah ini kita diajak untuk membangun pertobatan ekologis dengan cara peduli terhadap sampah dan berusaha keras membangun lingkungan hidup yang semakin bersih, hijau dan sehat. Kita berharap bisa merayakan Paskah dalam wujud lingkungan hidup yang semakin sehat untuk dihuni banyak orang. Selama masa prapaskah kita merefleksikan dan mendalami sikap iman ini. Maka kita masing-masing diajak untuk mewujudkan keutamaan ini dalam hidup setiap hari sebagai syukur atas kasih Tuhan dan wujud pertobatan kita.Semoga dengan demikian gerakan pertobatan kita semakin mempererat persaudaraan kita dan mendorong kita untuk terus berbagi untuk sesama. Kita percaya dalam suasana kasih dan semakin baiknya lingkungan hidup, kebaikan Tuhan semakin dialami oleh banyak orang.
Baiklah jika kita semua saling mendukung dengan memelihara masa tobat ini. Maka sangat dianjurkan agar perkawinan-perkawinan sedapat mungkin tidak dilaksanakan dalam masa Prapaskah (juga Adven), kecuali ada alasan yang berat. Pastor paroki dimohon secara bijaksana mencermati dan mengambil kebijakan sebaik mungkin dalam situasi dan kebutuhan pelayanan umat ini.
– Bila ada perkawinan yang karena alasan yang bisa dipertanggungjawabkan dilangsungkan dalam masa Prapaskah atau Adven, atau pada hari lain yang diliputi suasana tobat, pastor paroki hendaknya memperingatkan para mempelai agar mengindahkan suasana tobat itu, misalnya jangan mengadakan pesta besar (Upacara Perkawinan, Komisi Liturgi 1976, hal.14), untuk mengurangi kemungkinan menimbulkan batu sandungan.
Mari kita mensyukuri belaskasih Tuhan dan berusaha untuk membagikannya kepada sesama kita, terutama mereka yang sangat membutuhkan.
Pesan Bapa Suci Pada Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia ke-20 (11 Februari 2012) “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17:19)
Saudara-saudari yang terkasih,
Pada kesempatan Hari Orang Sakit Sedunia, yang akan kita peringati pada tanggal 11 Februari 2012, bersamaan dengan peringatan Penampakan Santa Perawan Maria di Lourdes, saya ingin memperbaharui kedekatan saya secara rohani dengan semua orang yang sakit, yang berada di tempat-tempat perawatan, atau yang dirawat oleh keluarganya di rumah, untuk menyatakan perhatian dan kasih dari segenap warga Gereja kepada masing-masing dari mereka. Dalam menyambut kehidupan setiap manusia dengan penuh cinta dan kemurahan, terutama mereka yang hidup dalam sakit dan kelemahan, seorang Kristen mengungkapkan sebuah aspek penting dari kesaksiannya terhadap Injil, mengikuti teladan Kristus, yang menghampiri dan melawati penderitaan fisik maupun spiritual manusia untuk menyembuhkan mereka.
1. Tahun ini, yang melibatkan persiapan untuk Hari Orang Sakit Sedunia yang akan diperingati di Jerman pada tanggal 11 Februari 2013 dan akan berfokus pada figur Injil Orang Samaria Yang Baik Hati (bdk. Luk 10 : 29-37), saya ingin menekankan mengenai yang disebut sebagai “sakramen penyembuhan”, yaitu sakramen Tobat dan Pengakuan Dosa serta sakramen Pengurapan Orang Sakit, yang keduanya mencapai kepenuhannya di dalam Komuni Ekaristi.
Perjumpaan Yesus dengan sepuluh orang kusta, yang dikisahkan dalam Injil Santo Lukas (bdk. Luk 17 : 11-19), dan khususnya kata-kata yang ditujukan oleh Tuhan kepada salah seorang dari mereka, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (ay.19), membantu kita untuk menyadari pentingnya iman bagi mereka yang, dalam keadaan terbeban oleh penyakit dan penderitaan, mendekat kepada Tuhan. Dalam perjumpaan mereka dengan Dia, mereka sungguh mengalami bahwa ia yang sungguh percaya, tak pernah sendirian! Sungguh, Tuhan, di dalam Putera-Nya, tidak mengabaikan kita dalam kepedihan dan penderitaan kita, tetapi Ia dekat pada kita, menolong kita untuk menanggung semua itu, dan rindu untuk menyembuhkan kita di kedalaman batin kita (bdk. Mark 2:1-12).
Iman penderita kusta yang seorang itu, setelah menyaksikan bahwa dirinya telah disembuhkan, ia dipenuhi dengan rasa takjub dan sukacita, dan tidak seperti para penderita kusta lainnya, ia segera kembali kepada Yesus untuk mengungkapkan rasa syukurnya, memampukan kita untuk meyakini bahwa kesehatan yang diperoleh kembali adalah suatu tanda dari sesuatu yang lebih berharga daripada sekedar kesembuhan fisik, hal itu adalah tanda keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita melalui Kristus; tanda itu ditemukan di dalam kata-kata Yesus: imanmu telah menyelamatkan engkau. Orang yang di dalam penderitaan dan sakitnya berdoa kepada Tuhan merasa pasti bahwa cinta Tuhan tidak akan meninggalkan dia, dan juga bahwa cinta Gereja, yang menjadi perpanjangan dari karya keselamatan Tuhan, tak akan pernah gagal. Kesembuhan fisik, sebagai sebuah tanda keselamatan yang terdalam yang nampak dari luar, menyatakan kepada kita pentingnya iman yang dimiliki orang itu, dengan segenap tubuh dan jiwanya, kepada Tuhan. Masing-masing sakramen, untuk keperluan itu, menyatakan dan menjadikan aktual kedekatan Tuhan sendiri, yang, sungguh secara cuma-cuma diberikan, “menyentuh kita melalui hal-hal material….yang Ia gunakan dalam pelayanan-Nya, membuat hal-hal itu menjadi instrumen dari perjumpaan di antara kita dan Diri-Nya” (Homily, Chrism Mass, 1 April 2010). “Kesatuan di antara ciptaan dan penebusan telah dijadikan nyata. Sakramen itu adalah suatu ekspresi fisik dari iman kita, yang menjangkau keseluruhan keberadaan orang yang sakit itu, baik badan maupun jiwanya” (Homily, Chrism Mass, 21 April 2011).
Yang pasti, tugas yang utama dari Gereja adalah mewartakan Kerajaan Allah,” Namun pewartaan ini haruslah merupakan sebuah proses penyembuhan: ‘merawat orang-orang yang remuk hati’ (Yes 61:1)” (ibid.), menurut wewenang yang dipercayakan Yesus kepada para murid-Nya (bdk. Luk 9:1-2; Mat 10:1,5-14; Mrk 6:7-13). Rangkaian dari kesehatan fisik dan pembaharuan setelah sembuh dari luka jiwa itu membantu kita untuk mengerti lebih baik mengenai “sakramen-sakramen penyembuhan.”
2. Sakramen Pengakuan Dosa telah seringkali menjadi pusat refleksi dari Para Imam Gereja, terutama karena begitu pentingnya sakramen ini dalam perjalanan hidup Kristiani, mengingat bahwa “Seluruh kukuatan Sakraman Pengakuan Dosa ialah bahwa ia memberi kembali kepada kita rahmat Allah dan menyatukan kita dengan Dia dalam persahabatan yang erat”. (Katekismus Gereja Katolik, 1468). Gereja, dalam terus menerus menyerukan pesan Yesus akan pengampunan dan rekonsiliasi, tak pernah berhenti untuk mengundang segenap umat manusia untuk bertobat dan percaya kepada Injil. Gereja menjadikan miliknya sendiri, panggilan dari Rasul Paulus: “Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah (2 Kor 5:20). Yesus, selama hidupnya di dunia, mewartakan dan menghadirkan belas kasihan Allah Bapa. Dia datang bukan untuk menghakimi melainkan untuk mengampuni dan menyelamatkan, untuk memberi harapan dalam kegelapan yang paling pekat dari dosa dan penderitaan, dan untuk memberikan hidup yang kekal; oleh karena itu dalam sakramen Tobat, di dalam “pengobatan pengakuan”, pengalaman akan dosa tidak merendahkan manusia kepada keputusasaan, namun membuatnya berjumpa dengan Sang Cinta yang selalu mengampuni dan mengubahkan (bdk. Yohanes Paulus II, Post-Synodal Apostolic Exhortation Reconciliatio et Paenitentia, 31).
Allah, “yang penuh dengan belas kasihan” (Ef 2:4), seperti figur ayah di dalam kisah perumpamaan dalam Injil (bdk. Luk 15:11-32), tidak menutup hati-Nya terhadap siapapun dari anak-anak-Nya, melainkan menunggu mereka kembali, mencari mereka, menjangkau mereka, di mana penolakan mereka terhadap persekutuan memenjarakan mereka dalam keterpisahan dan perpecahan, dan Ia memanggil mereka untuk berkumpul di sekeliling meja-Nya, dalam sukacita pesta pengampunan dan rekonsiliasi. Satu penderitaan, yang dapat membuat seseorang menjadi begitu rapuh sehingga merasa kecil hati dan tak punya pengharapan, dapat kemudian diubahkan menjadi suatu kesempatan rahmat yang memungkinkan ia kembali kepada dirinya, dan seperti si anak hilang dalam perumpamaan Injil, untuk berpikir baru tentang kehidupannya, mengenali kesalahan-kesalahan dan kegagalannya, untuk merindukan pelukan kasih Bapa, dan mengikuti jalan pulang menuju ke rumah-Nya. Dia, dalam cinta-Nya yang begitu besar, selalu dan di mana-mana Ia memelihara hidup kita dan menantikan kita, menawarkan kepada setiap anak-Nya yang kembali kepadaNya, suatu karunia rekonsiliasi dan sukacita yang penuh.
3. Dari sebuah bacaan Injil tampak dengan jelas bahwa Yesus selalu menunjukkan keprihatinan khusus kepada orang yang sakit. Ia tidak hanya mengutus para murid-Nya untuk merawati luka-luka mereka (bdk. Mat 10:8; Luk 9:2;10:9) tetapi juga memberikan kepada mereka sebuah sakramen yang khusus: Pengurapan Orang Sakit. Surat Yakobus memuat kesaksian telah hadirnya tindakan sakramental ini dalam komunitas jemaat Kristen perdana (bdk. Yak 5:14-16): melalui Pengurapan Orang Sakit, disertai doa-doa dari para penatua jemaat, segenap Gereja menyerahkan umat yang sakit kepada penderitaan Kristus dan kemuliaan-Nya, sehingga Ia dapat mengangkat penderitaan mereka dan menyelamatkan mereka; Gereja sungguh mendorong mereka untuk menyatukan diri mereka secara rohani kepada sengsara dan wafat Kristus yang pada gilirannya berperan memberikan sumbangan kebaikan kepada segenap Umat Tuhan.
Sakramen ini membawa kita untuk merenungkan dua misteri dari Bukit Zaitun, di mana Yesus menemukan diri-Nya secara dramatis dihadapkan dengan jalan yang telah ditunjukkan Bapa kepada-Nya, mengenai sengsara-Nya, sebuah tindakan kasih yang tertinggi; dan Ia menerimanya. Dalam momen-momen kepedihan itu, Dia adalah Sang pengantara, “menanggung dalam diri-Nya, mengambil baginya penderitaan dan sengsara dunia ini, mengubahnya menjadi sebuah jeritan kepada Allah, membawanya ke hadapan Allah dan ke dalam tangan Allah sehingga sungguh membawa semua itu kepada momen penebusan” (Lectio Divina, Meeting with the Parish Priests of Rome, 18 February 2010). Namun, “Taman Getsemani adalah juga suatu tempat di mana Ia naik kepada Bapa, dan maka menjadi suatu tempat penebusan…..dua buah misteri Bukit Zaitun itu juga selalu “bekerja” di dalam minyak sakramen Gereja…tanda kebaikan Tuhan yang menjangkau kita untuk menyentuh kita” (Homily, Chrism Mass, 1 April 2010).. Dalam Pengurapan Orang Sakit, materi sakramental dari minyak diberikan kepada kita, menceritakan “sebuah pengobatan dari Tuhan…yang kini menjamin kita akan kebaikan-Nya, menawarkan kepada kita kekuatan dan penghiburan, dan dalam waktu yang sama, menunjukkan melampaui saat-saat sakit penyakit kepada kesembuhan yang menetap dan nyata, yaitu kebangkitan (bdk. Jas 5:14)” (ibid)
Sakramen ini layak mendapat perhatian yang lebih besar hari ini, baik dalam refleksi teologi maupun dalam pelayanan pastoral bagi orang sakit. Lewat apresiasi yang pantas yang terkandung dalam doa-doa liturgi yang diadaptasi dalam berbagai situasi kehidupan manusia yang berkaitan dengan penyakit, dan tidak hanya ketika seseorang berada pada akhir hidupnya (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1514), Pengurapan Orang Sakit selayaknya tidak dianggap sebagai suatu “sakramen yang minor (kurang penting)” dibandingkan dengan sakramen-sakramen lainnya. Perhatian dan pelayanan pastoral bagi orang sakit, sementara pada satu sisi, adalah sebuah tanda dari kebaikan Tuhan kepada mereka yang menderita, di sisi lain juga membawa perkembangan rohani kepada para imam dan segenap komunitas Gereja, dalam kesadaran bahwa apa yang diperbuat kepada orang yang paling kecil, sesungguhnya diperbuat kepada Yesus sendiri (bdk. Mat 25:40)
4. Sehubungan dengan “sakramen penyembuhan”, Santo Agustinus menyatakan: “Tuhan menyembuhkan semua penyakitmu. Maka, jangan takut, semua sakit penyakitmu akan disembuhkan….Engkau hanya harus mengijinkan Dia untuk menyembuhkanmu dan engkau tidak boleh menolak tangan-Nya” (Exposition on Psalm 102, 5; PL 36, 1319-1320). Ini adalah sebuah instrumen berharga dari rahmat Tuhan yang membantu seorang yang sakit untuk menempatkan dirinya secara lebih penuh kepada misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Bersama dengan kedua sakramen ini, saya juga ingin menekankan pentingnya Ekaristi. Diterima pada saat menderita sakit, sakramen ini memberikan dalam satu cara yang tunggal untuk mengerjakan sebuah transformasi, menghubungkan orang yang mengambil bagian dalam Tubuh dan Darah Kristus, kepada persembahan yang Ia buat sendiri kepada Allah Bapa untuk keselamatan semua manusia. Seluruh komunitas eklesial, dan komunitas paroki khususnya, harus memberikan perhatian sebagai jaminan kemungkinan menerima Komuni Kudus secara teratur, untuk mereka yang, demi alasan kesehatan atau usia lanjut, tak dapat pergi ke gereja. Dengan cara ini, saudara dan saudari ini diberikan jalan untuk memperkuat relasi mereka dengan Kristus, yang disalibkan dan bangkit, mengambil bagian, melalui hidup mereka yang dipersembahkan demi cinta kepada Kristus, di dalam misi utama Gereja. Dari sudut pandang ini, adalah penting bahwa para imam yang mempersembahkan pekerjaan mereka yang tidak menyolok di rumah sakit-rumah sakit, di rumah-rumah jompo dan rumah-rumah perawatan bagi orang sakit, merasa bahwa mereka adalah sungguh “pelayan-pelayan orang-orang sakit”, tanda dan instrumen belas kasihan dari Kristus yang harus menjangkau setiap orang yang ditandai oleh penderitaan.” (Message for the XVIII World Day of the Sick, 22 November 2009).
Selaras dengan Misteri Paskah Kristus, yang juga dapat dicapai melalui praktek Komuni secara rohani, mengambil arti yang sangat khusus ketika Ekaristi diberikan dan diterima sebagai Viaticum. Pada tahap kehidupan itu, kata-kata Tuhan bahkan terasa lebih berbunyi: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh 6:54). Ekaristi, khususnya sebagai Viaticum, adalah – menurut definisi Santo Ignasius dari Antiokia – “obat dari kefanaan, obat penawar untuk kematian” (Letter to the Ephesians, 20: PG 5, 661); sakramen yang menjadi jalan dari kematian kepada hidup, dari dunia ini kepada Bapa, yang senantiasa menantikan setiap orang dalam Yerusalem Baru.
5. Tema dari Pesan untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-20, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau”, juga mengharapkan kedatangan Tahun Iman yang akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, sebuah kesempatan berpotensi dan berharga untuk menemukan kembali kekuatan dan keindahan dari iman, untuk mengevaluasi muatannya, dan untuk menjadi saksi terhadap iman itu di dalam kehidupan sehari-hari (bdk. Apostolic Letter Porta Fidei, 11 October 2011). Saya berharap untuk dapat menyemangati semua orang yang sakit dan menderita untuk selalu menemukan pelabuhan yang aman dalam iman, yang disegarkan melalui mendengarkan Firman Tuhan, lewat doa pribadi dan lewat sakramen-sakramen, dan sementara itu saya juga mengundang para pastor untuk semakin selalu siap sedia untuk merayakan sakramen-sakramen itu bagi para penderita. Mengikuti teladan sang Gembala Yang Baik dan sebagai pemandu kawanan yang dipercayakan kepada mereka, para imam harus selalu dipenuhi oleh sukacita, penuh perhatian kepada mereka yang paling lemah, paling miskin dan sederhana, dan para pendosa, mengekspresikan belas kasihan Tuhan yang tak terbatas dengan kata-kata pengharapan yang memberikan rasa aman. (bdk. Saint Augustine, Letter 95, 1: PL 33, 351-352).
Bagi mereka yang bekerja di bidang kesehatan, dan bagi para keluarga yang melihat dalam diri kerabat mereka wajah penderitaan Tuhan Yesus, saya memperbarui rasa terima kasih saya dan Gereja, karena, dalam keahlian profesi mereka dan dalam keheningan, sering bahkan tanpa menyebut nama Kristus, mereka mewujudnyatakan Dia dengan cara yang nyata (bdk. Homily, Chrism Mass, 21 April 2011).
Kepada Bunda Maria, Bunda Belas Kasihan dan Kesembuhan Orang Sakit, kami menaikkan pandangan penuh percaya dan doa kami; kiranya belas kasih keibuannya, yang terwujud saat ia berdiri di sisi Puteranya yang menjelang ajal di Kayu Salib, menyertai dan menguatkan iman dan harapan setiap orang yang sakit dan menderita dalam perjalanan menuju kesembuhan luka-luka tubuh dan jiwa!
Saya mengingat Anda semua dalam doa-doa saya, dan saya memberikan berkat atas masing-masing dari Anda, sebuah Berkat Apostolik.
Dari Vatikan, 20 November 2011, Peringatan Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Semesta Alam
Bapa Paus Benediktus XVI
Bertempat di Aula Seminari Menengah Wacana Bakti, Jakarta (22/1), eks seminari dari seluruh Indonesia berkumpul dan misa bersama dalam rangka buka tahun 2012. Dalam wadah Paguyuban Gembala Utama (PGU) para mantan seminaris bersama-sama dengan keluarganya hadir dalam misa yang dipersembahkan oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo, Pr. Misa mengambil tema : “Teman Seperjalanan Selamanya!”
Meski berlangsung sederhana dan hanya setengah hari, namun ada semangat yang selalu dihidupkan oleh para eks seminari. Menjadi kader katolik yang 100% Indonesia dan 100% katolik. “Dalam paguyuban ini para eks seminari akan berupaya mengawal gereja dan mendampingi para imam kita. Agar kasus seperti yang terjadi di Gereja GKI Yasmin Bogor tidak sampai menimpa gereja kita,” ungkap Putut Prabantoro, eks seminari Mertoyudan yang menjadi ketua umum PGU.
Putut mengakui bahwa PGU selama ini hanya paguyuban eks seminari Mertoyudan. “Tetapi sejak tahun lalu, para pendiri PGU seperti Yakob Oetama, sudah menyatakan PGU terbuka untuk seluruh eks seminari se-Indonesia. Sebab dengan latar belakang pendidikan seminari umumnya memiliki kemiripan semangat. Semangat seminari inilah yang ingin kita bawa dan kembangkan dalam kehidupan bergereja dan berbangsa,” harap Putut.
Lebih jauh Trian Koentjoro yang juga alumni Seminari Mertoyudan dan kini wakil pemimpin redaksi Kompas mengatakan sebagai alumni seminari kita memiliki tiga tugas utama yaitu :
Membantu seminari dalam bentuk apapun sesuai kemampuan dan keadaanmu
Ikut meneguhkan dan menyemangati para pastor dengan menyapa mereka pastor setempat kemana pun kita berkunjung. Itu namanya menjadi teman seperjalanan selamanya
Membangun dan merajut hubungan eks seminari (PGU) seluas-luasnya. Hanya dengan kekuatan jaringan ini kita bisa mempertahankan dan memperjuangan keberadaan gereja kita di bumi pertiwi ini. Kita bisa berjuang bersama-sama.
Sedangkan dalam kotbahnya Mgr. Suharyo menekankan betapa pentingnya terus menghidupkan semangat ekaristi dalam kehidupan sehari-hari. “Dalam ekaristi hanya ada 4 (empat) kata yang selalu diulang-ulang yaituYesus mengambil : roti, memberkati, memecah-mecahkan dan membagi-bagikan,” jelas Mgr. Suharyo.
Sebagai manusia yang terpilih menjadi murid dan pengikut Kristus kita adalah roti ekaristi yang istimewa. Sebagai roti kita terberkati karena mendapat penebusan Kristus. Tetapi berkat yang kita dapatkan itu bukan hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. Kita akan dipecah-pecah artinya kita harus rela berkorban seperti Yesus mengorbankan diri demi keselamatan umat manusia. Berkat yang dipecah-pecah itu kemudian dibagi-bagikan.
“Jadi segala yang kita miliki bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk dibagikan dengan sesama. Inilah artinya kita menjadi teman seperjalanan selamanya. Artinya kita harus jadi martir, rela dipecah-pecah dan dibagi-bagikan atau rela berkorban. Dua kata kunci terakhir (dipecah-pecah dan dibagi-bagikan) memang yang terberat bagi kita,” tandas Mgr. Suharyo. Mgr. Suharya mengatakan salah satu contoh kongkrit pengorbanan itu adalah berkorban demi meujudkan cita-cita komunitas PGU ini. “Inilah salah satu tugas perutusan kita sebagai pengikut dan murid-murid Kristus sesuai dengan kisah pemanggilan para murid Kristus dalam Injil hari ini ,” tandasnya.
Menurut Mgr. Suharyo ceita tentang panggilan para murid Kristus sudah biasa kita baca atau dengar karena Injil ini sudah berulang kali kita baca maupun dengar. Tetapi apa yang membuatnya menjadi menarik adalah ketika merenungkan kisah panggilan kita masing-masing.
Saya pernah dengar dan ceritakan kisah panggilan iman seorang gadis cilik siswi kelas I SMP bernama Agnes. Gadis bertubuh kecil bila dibandingkan dengan teman seusianya, lahir dalam keluarga yang beda agama. Ibunya katolik dan ayahnya non katolik. Naas Agnes kecil sudah ditinggal meninggal ibunya ketika dia berusia satu bulan. Dia pun dibesarkan oleh kakek dan neneknya yang beragama katolik.
Kemalangankembali menimpa hidup Agnes. Ketika dia duduk di kelas VI neneknya meninggal mengikuti kakeknya yang sudah lebih dahulu meninggal. Ayahnya yang sudah menikah kembali denganibu tirinya yang agama non katolik menjemputnya. “Kalau mau ikut saya harus ikut dan turut segalanya kepada saya termasuk masalah agama!”
Agnes kecil hanya bertahan tiga hari di rumah ayah dan ibu tirinya. Setelah itu dia minggat tanpa tahu kemana harus pergi. Ketika sore hari pelariannya, dia sudah kecapaian. Dia terduduk di tepi jalan dan terus menerus menangisi nasibnya. Sepasang suami-istri rupanya memperhatikan dari jauh Agnes kecil ini. Karena hari semakin larut malam dan Agnes tetap terduduk di tempatnya, pasangan suami-istri itu akhirnya mendekati Agnes dan mengajaknya ke rumah mereka.
Setelah mendengarkan kisah Agnes, pasangan suami istri menawarkan diri menjadi orang tua asuh Agnes dan tinggal di rumah itu. Agnes segera menerima tawaran itu karena pasangan suami istri itu adalah pasangan katolik. “Kisah ini diceritakan oleh Romo paroki Janggor Klaten kepada saya ketika Agnes akan menerima krisma lima tahun lalu,” jelas Mgr. Suharyo.
Rupanya pastor paroki tersebut sempat juga menanyakan apa alasan Agnes sehingga memutuskan meninggalkan rumah ayah dan ibu tirinya. Jawaban Agnes sangat polos : ”Kalau saya di rumah ayah dan ibu tiri saya siapa yang akan mendoakan kakek, nenek dan ibu saya? Kalau saya di rumah ayah dan ibu tiri saya saya nggak mungkin ke gereja,” jelas romo paroki mengutip pernyataan Agnes.
“Inilah jawaban yang tulus dan sederhana tetapi menunjukkan dan menggambarkan iman Agnes yang sangat mendalam dan kesadarannya akan ekaristi yang dia terima setiap minggu di gereja. Belum tentu setiap orang bisa menjawab pertanyaan ini dengan sejelas jawaban Agnes termasuk kalau diajukan kepada saya,” tandas mgr. Suharyo. Inilah iman yang hidup dan menghidupi.
Dalam kesempatan itu juga pengurus PGU meminta pengalaman dari masing-masing eks seminari mengenai apa saja yang telah mereka lakukan terhadap almamaternya. Tergambar bahwa perahatian alumni seminari terhadap almamaternya sangat besar. Berbagai upaya penggalangan dana diupayakan untuk menunjang kegiatan di almamaternya masing-masing.
KAJ – Teolog Lutheran dari Norwegia, Pdt Dr Olav Fykse Tveit, yang sekarang menjabat sebagai Sekretaris Jendral Dewan Gereja Dunia (WCC), pada suatu kesempatan secara khusus bertemu Paus Benediktus XVI di Vatikan.
Pertemuan berlangsung pada Sabtu, 4 Desember 2010. Mereka mendiskusikan sejumlah permasalahan, termasuk kesatuan Gereja dan situasi orang Kristiani di Timur Tengah.
Pertemuan itu merupakan pertemuan resmi pertama sejak Tveit dilantik sebagai Sekretaris Jendral WCC, Januari 2010. Tveit dan Paus terlibat dalam pembicaraan yang terbuka dan bersahabat. Paus menekankan betapa pentingnya karya dan pelayanan WCC. Sebelum menjadi Paus, Joseph Ratzinger ikut terlibat dalam Komisi Faith and Order WCC pada awal 1970-an. Komisi ini membahas permasalahan teologis dan kesatuan Gereja-gereja.
WCC beranggotakan 349 Gereja yang mewakili lebih dari 550 juta orang Kristiani di seluruh dunia, termasuk Ortodoks, Anglikan, Protestan, dan beberapa Gereja Pentakosta dan Gereja Evangelis. Gereja Protestan Indonesia selain menjadi anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), juga menjadi anggota WCC.
Meskipun bukan anggota WCC, Gereja Katolik Roma yang terdiri dari 2.956 keuskupan (2010), dengan sekitar 1,1 miliar umat, berpartisipasi dalam kegiatan dan pelayanan WCC, misalnya Komisi Faith and Order, Komisi Misi Dunia dan Evangelisasi, serta Kelompok Kerja Gabungan WCC dan Gereja Katolik Roma. Perwakilan Katolik juga memberikan masukan untuk perencanaan Sidang ke-10 WCC di Busan, Korea pada 2013.
Sumber: http://www.hidupkatolik.com/2012/01/17/kerjasama-wcc-vatikan